Liputan6.com, Jalur Gaza - Unjuk rasa berdarah yang terus memanas di perbatasan Jalur Gaza-Israel membuat militan Hamas bereaksi.
Mereka mengancam Israel atas tindakan yang militer negara itu terhadap para demonstran, seiring seruan Friday of Fire atau Pertempuran Jumat yang diagungkan warga Palestina.
Advertisement
"Katakan pada Israel untuk menunggu hingga 15 Mei tiba. Saat itulah semua orang Palestina memberontak dan tidak ada lagi yang sanggup menghentikan mereka. Gerakan demi gerakan, hingga kita bertemu di Yerusalem," kata salah satu anggota Hamas, Khalil al-Hayya, seperti dikutip dari Asharq Al-Awsat, Senin (16/4/2018).
"Konfrontasi kami dalam melawan pendudukan sedang berlangsung, dengan semua kemampuan yang kami miliki. Demonstrasi kembali diluncurkan dan akan berakhir hanya dengan hasil berupa kemenangan dan pembebasan," lanjutnya.
Warga Palestina di Jalur Gaza melaksanakan demonstrasi enam minggu yang disebut "Great March of Return", yang dimulai pada 30 Maret 2018. Mereka bersumpah untuk terus melanjutkan aksi serupa hingga Hari Nakba tiba pada 15 Mei.
Hari Nakba adalah peringatan tahunan untuk pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Israel pada tahun 1948.
Great March of Return mencapai puncaknya setiap Jumat, mengingat Jumat merupakan hari suci bagi umat muslim. Palestina mengatakan, aksi ini bertujuan untuk merebut kembali tanah kelahiran mereka yang direnggut Israel pada tujuh dekade silam.
Sepanjang demonstrasi berlangsung, militer Israel telah menewaskan sedikitnya 35 demonstran warga Palestina, dan melukai sekitar 3.000 orang.
Palestina menuduh Israel dengan sengaja menargetkan warga sipil untuk menggagalkan unjuk rasa tersebut.
Israel membantah dengan menyebut militernya hanya menyasar para demonstran yang mencoba menerobos kawat berduri dan menyerang pasukannya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
DK PBB Diam?
Pekan lalu, serangan tentara Israel dilaporkan mengenai seorang jurnalis Palestina yang sedang meliput unjuk rasa di Khuzaa, daerah dekat perbatasan Israel. Selain itu, staf medis juga dilaporkan terluka.
Jurnalis bernama Yaseer Murtaga itu berada dalam jarak 100 meter dari perbatasan. Ia pun sudah mengenakan jaket antipeluru bertuliskan "press" dan sedang memegang kameranya saat tertembak di area terbuka, tepat di bawah ketiak.
Otoritas Palestina meminta dilakukan penyelidikan internasional terkait dengan tembakan yang diarahkan ke warga sipil. Akan tetapi, Khalil al-Hayya menyebut bahwa Dewan Keamanan PBB bahkan tidak dapat mengecam karena posisi Amerika Serikat yang mendukung Israel.
"Mati syahidnya para ayah dan anak-anak tidak akan mencegah rakyat Palestina melanjutkan jihad dan perlawanan mereka," tegas Hayya.
Advertisement