BI Pikir-Pikir Turunkan Batas Maksimal Transaksi Tunai Jadi Rp 25 Juta

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK), batas transaksi tunai maksimal sebesar Rp 100 juta.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Apr 2018, 12:24 WIB
Suasana pengunjung di tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (9/10/2015). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mempertimbangkan untuk menurunkan batas transaksi uang kartal. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK), batas transaksi tunai maksimal sebesar Rp 100 juta.

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menilai, batas maksimal Rp 100 juta bagi sejumlah lembaga penegak hukum masih terlalu tinggi. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan batas maksimal transaksi tunai sebesar Rp 25 juta.

"Angka Rp 100 juta memang relatif tinggi. Tapi setelah berkembang dan masyarakat lebih banyak pakai nontunai. Bisa kita diskusikan untuk diubah," ujar dia di Kantor PPATK, Jakarta, Selasa (17/4/2018).

Sementara itu, Ketua Tim Penyusun RUU PTUK Yunus Husein menyatakan, ada sejumlah alasan batasan maksimal transaksi tunai ditetapkan sebesar Rp 100 juta. Salah satunya lantaran banyak negara menetapkan Rp 100 juta sebagai batasan maksimal untuk transaksi uang kartal.

"Di Pasal 30 UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) itu Rp 100 juta batasnya. Di mana-mana, lintas batas negara memang banyak pakai Rp 100 juta. Yang di atas Rp 100 juta dianggap high value, kalau yang di bawah itu dianggap ritel," kata dia.

Namun demikian, Yunus mengatakan pihaknya terbuka terhadap masukan untuk menurunkan batas transaksi uang kartal ini. Saat ini draft RUU tersebut masih menunggu persetujuan dari kementerian terkait sebelum disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk selanjutnya di bahas di DPR RI.

"Kalau di DPR ini diperbaiki, diperkecil bisa saja. Tapi di banyak negara pakai Rp 100 juta," ucap dia.


PPATK: Transaksi Tunai Dibatasi Bakal Tekan Tindak Pidana Korupsi

Petugas merapikan uang di Kantor Kas Bank Mandiri, Jakarta, Senin (4/1/2016). (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, pembatasan transaksi tunai akan membantu menekan tingkat pidana pencucian uang dan korupsi di Indonesia.
 
Pembatasan tersebut tengah diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
 
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, menurut data statistik PPATK, tren korupsi, penyuapan dan kejahatan lainnya mengalami kenaikan secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. 
 
 
Sejak 2003 hingga Januari 2018, PPATK telah melaporkan sebanyak 4.155 Hasil Analisis (HA) kepada penyidik. Dari jumlah tersebut, 1.958 HA ‎diantaranya merupakan berindikasi tindak pidana korupsi dan 113 HA berindikasi tindak pidana penyuapan.
 
"Modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan cek perjalanan," ujar dia di Kantor PPATK, Jakarta, Selasa (17/4/2018).
 
‎Menurut dia, modus para pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai adalah untuk menyulitkan upaya pelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary). 
 
"Masih segar dalam ingatan kita bagaimana operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar oleh penegak hukum, hampir seluruhnya melibatkan uang tunai dalam kejahatan yang dilakukan," kata dia.
 
Oleh sebab itu, guna menurunkan tindak pidana korupsi, penyuapan dan tindak pidana lainnya, lanjut dia, PPATK mendukung upaya pemerintah berencana untuk membatasi transaksi tunai maksimal Rp 100 juta. 
 
“Langkah tersebut perlu dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana," tandas dia.
 
Tonton Video Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya