HEADLINE: Transaksi Tunai Dibatasi Maksimal Rp 100 Juta, Ekonomi Terganggu?

Pembatasan transaksi tunai maksimal RP 100 juta untuk mencegah korupsi, penyuapan dan kejahatan lainnya yang trennya mengalami kenaikan secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

oleh Arthur GideonSeptian DenyFiki Ariyanti diperbarui 18 Apr 2018, 00:00 WIB
Penyidik KPK menunjukan uang pecahan Rp 50 ribu dihadapan Wartawan hasil pengembangan Operasi Tangkap Tangan di Walikota Kendari Sulawesi Tenggara (Sultra) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/3). (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah merancang aturan untuk membatasi nominal transaksi dengan uang tunai. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK), batas transaksi tunai direncanakan maksimal Rp 100 juta.

Tujuan adanya aturan tersebut guna memperkuat upaya pencegahan penyuapan, korupsi, politik uang atau money politic, pencucian uang dan tindak pidana lainnya.

"Pemerintah berencana untuk membatasi transaksi tunai maksimal Rp 100 juta. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana," tutur Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin Selasa (17/4/2018).

Lulusan University of Illinois at Urbana-Champaign tersebut melanjutkan, tren korupsi, penyuapan dan kejahatan lainnya mengalami kenaikan secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak 2003 hingga Januari 2018, PPATK telah melaporkan sebanyak 4.155 Hasil Analisis (HA) kepada penyidik. Dari jumlah tersebut, 1.958 HA ‎diantaranya merupakan berindikasi tindak pidana korupsi dan 113 HA berindikasi tindak pidana penyuapan.

"Modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan cek perjalanan," ujar dia.

Modus para pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai adalah untuk menyulitkan upaya pelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).

"Masih segar dalam ingatan kita bagaimana operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar oleh penegak hukum, hampir seluruhnya melibatkan uang tunai dalam kejahatan yang dilakukan," lanjut dia.

Oleh sebab itu, guna menurunkan tindak pidana korupsi, penyuapan dan tindak pidana lainnya, lanjut dia, PPATK mendukung upaya pemerintah berencana untuk membatasi transaksi tunai maksimal Rp 100 juta.

 

 

Infografis pembatasan transaksi tunai (Liputan6.com/Triyasni)

Direktur Utama BNI Syariah, Abdullah Firman Wibowo mengatakan, rencana pembatasan transaksi tunai oleh PPATK akan membawa banyak manfaat, termasuk bagi perbankan.

"Manfaat pertama, meningkatkan transaksi untuk menghindari dan menurunkan angka kejahatan korupsi," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

Kedua, sambung Firman, pembatasan transaksi tunai akan meningkatkan perlindungan untuk nasabah terhadap uang palsu. Manfaat ketiga, lanjutnya, meningkatkan aktivitas perekonomian yang bisa difasilitasi oleh perbankan.

Manfaat terakhir, mengurangi biaya handling transaksi tunai yang menurut perbankan merupakan transaksi berbiaya mahal.

"Dengan manfaat tersebut, kami mendukung rencana PPATK membatasi transaksi tunai," ucap Firman.

Terpisah, Direktur Keuangan dan Treasury PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko memandang bahwa transaksi dengan nominal di atas Rp 100 juta semestinya tidak lagi menggunakan uang tunai.

"Wajarnya kalau (transaksi) di atas Rp 100 juta, ya transaksinya tidak dilakukan secara tunai," paparnya.

Namun demikian, menurut Iman, susah mengontrol transaksi antar-kedua belah pihak, apalagi jika sama-sama sepakat untuk menggunakan transaksi tunai ketimbang nontunai.

"Tapi transaksi antara dua pihak kan juga susah ngontrolnya, apalagi kalau kedua pihak sama-sama sepakat dan mau transaksinya diselesaikan dengan cash atau transaksi tunai," tegasnya.

Iman optimistis aturan itu tidak akan mengganggu sektor keuangan, termasuk perbankan, bahkan mengganggu ekonomi nasional.

"Tidak, dan masyarakat kan juga sudah mulai teredukasi dengan Gerakan Non-Tunai yang dimotori Bank Indonesia," pungkasnya.

Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati menambahkan, aturan tersebut tidak berdampak kepada industri perbankan dan kegiatan ekonomi secara menyeluruh karena di kota-kota besar sudah banyak yang menggunakan digital banking.

"Namun hal tersebut harus disosialisasikan secara intensif dan efektif ke masyarakat terutama di luar kota besar, agar bisa dihindari dampak negatif dan persepsi tidak salah," tutur dia.

Ia menambahkan, Indonesia juga perlu untuk belajar dari negara lain yang sudah menerapkan hal serupa untuk bisa mengantisipasi reaksi dan memastikan agar seluruh pihak terkait siap.

 


Harus Ada Pengecualian

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (kiri) berfoto bersama Menkumham Yasona Laoly, Ketua KPK Agus Rahardjo (kedua kanan), dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (kanan) usai diskusi di gedung PPATK, Jakarta, Selasa (17/4).(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan, pada dasarnya BI mendukung penuh adanya pembatasan ini. Namun aturan ini jangan sampai mengganggu jalannya kegiatan ekonomi masyarakat.‎

"Kita mendukung atas UU ini. Tapi yang kita inginkan jangan sampai pelaksanaan UU ini mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Kita mesti bersama kawal ini," ujar dia.

Contoh sederhana, lanjut dia, transaksi jual beli sapi di daerah yang nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Jika transaksi seperti ini tidak mendapatkan pengecualian dari pembatasan transaksi tunai maksimal Rp 100 juta, maka akan sangat mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat.

"Misalnya pedagang sapi, itu satu sapi bisa seharga Rp 10 juta. Satu truk itu bisa 17 sapi-20 sapi. Itu bisa jadinya Rp 200 juta. Kalau di Brebes, pengepul itu bayaran hasil-hasil petani. Yang kayak gitu jangan sampai terkena," kata dia.

Oleh sebab itu, kata Erwin, perlu adanya kejelasan terkait pengecualian tersebut. Selain itu, juga diperlukan aturan turunan untuk memberikan kepastian dari pengecualian ini.

Peternak sapi dalam negeri meminta pemerintah untuk membangun fasilitas dan sistem pembayaran nontunai di sentra-sentra jual beli produk peternakan. Hal ini menyusul adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK).

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengatakan, ketergantungan terhadap uang tunai di bisnis peternakan selama ini masih sangat tinggi. Bahkan 90 persen transaksi di bisnis ini masih menggunakan uang tunai.

"Transaksi umumnya masih menggunakan uang tunai.‎ Jadi 80 persen-90 persen masih menggunakan tunai, kecuali perusahaan-perusahaan besar yang sudah gunakan bank. Tapi umumnya menggunakan tunai," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dia mengungkapkan, perputaran uang di bisnis ini juga terhitung tinggi. Per harinya, satu pengusaha ternak minimal melakukan transaksi jual beli hingga mencapai Rp 150 juta. Transaks seperti ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

"Misalnya 1 truk itu 10 ekor-12 ekor. Kalau 1 ekor sapi harganya Rp 15 jutaan, itu sudah Rp 150 juta, itu per hari. Itu di RPH atau pasar hewan antar provinsi itu minimum 1 truk, karena tidak mungkin hanya bawa 1-2 ekor dalam pengiriman. Kemudian pemotongan per tahun sekitar 2-3 juta ekor, itu dikali Rp 15 juta. Jadi sangat besar," jelas dia.

Rochadi menyatakan, pihaknya mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan keamanan transaksi masyarakat dengan membatasi transaksi tunai. Namun hal tersebut harus dilakukan dengan peningkatan fasilitas pembayaran nontunai di sentra bisnis peternakan dan sosialiasi yang cukup.

Ketua Tim Penyusun RUU PTUK Yunus Husein menyatakan, mengatakan sebenarnya dalam draft RUU tersebut telah ada sejumlah transaksi yang mendapatkan pengecualian. Hal ini guna memberikan ruang bagi transaksi legal yang ada di masyarakat.

"Ada yang dikecualikan, seperti transaksi PJK (penyedia jasa keuangan) dengan BI (Bank Indonesia), transaksi antar PJK, pembayaran gaji," ujar dia.

Berikut transaksi yang mendapatkan pengecualian:

1. Transaksi uang kartal yang dilakukan oleh PJK seperti bank, perusahaan pembiayaan, asuransi dan lain-lain dengan pemerintah dan Bank sentral.

2. Transaksi uang kartal antar PJK dalam rangka kegiatan usaha masing-masing

3. Transaksi uang kartal untuk penarikan tunai dari bank dalam rangka pembayaran gaji atau pensiun

4. Transaksi uang kartal untuk pembayaran pajak dan kewajiban lain kepada negara

5. Transaksi uang kartal untuk melaksanakan putusan peradilan

6. Transaksi uang kartal untuk kegiatan pengolahan uang

7. Transaksi uang kartal untuk biaya pengobatan

8. Transaksi uang kartal untuk penanggulangan bencana alam

9. Transaksi uang kartal untuk pelaksanaan penegakan hukum

10. Transaksi uang kartal untuk penempatan atau penyetoran ke PJK

11. Transaksi uang kartal untuk penjualan dan pembelian mata uang asing

12. Transaksi uang kartal yang dilakukan di daerah yang belum tersedia PJK atau sudah tersedia PJK namun belum memiliki infrastruktur sistem pembayaran yang memadai.


KPK Minta Nilai Turun Pengusaha Mau Naik

Penyidik KPK menunjukan uang pecahan Rp 50 ribu dihadapan Wartawan hasil pengembangan Operasi Tangkap Tangan di Walikota Kendari Sulawesi Tenggara (Sultra) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/3). (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan pihaknya mendukung penuh untuk segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hanya saja, batasan tunai Rp 100 juta menurutnya perlu dikaji lagi.

"Pada waktu undang-undang ini dibuat, saya bertanya transaksi yang dibatasi berapa? Rp 100 juta ternyata. Kalau dilihat luasnya negeri ini, jadi kepala sekolah SD itu bisa suap juga yang jumlahnya Rp 25 juta. Saya pengennya jangan terlalu tinggi," tutur Agus.

Agus meminta agar batasan Rp 100 juta dapat diturunkan. Sebab indikator tersebut dianggap sangat penting bagi KPK dalam upaya penelusuran dan penyelidikan tindak pidana korupsi.

"Walaupun teman dari Bank Indonesia bilang tadi, ini (pertimbangan) untuk pengepul yang akan menyebarkan uang ke petani. Tapi dicarikan solusi agar petaninya melek perbankan," jelas dia.

Selebihnya, Agus kembali menegaskan bahwa KPK mendukung langkah terealisasinya undang-undang tersebut. Terlebih, melihat pengalaman tangkapan sebelumnya.

Seperti adanya seorang Dirjen yang harus tidur dengan banyak tas berisikan uang Rp 20 miliar dan kasus mantan Ketua MK yang menyimpan uang tunai di belakang ruang karaoke dengan jumlah yang fantastis.

"Pada waktu itu kita belum memiliki undang-undang ini, tapi sudah ada ketakutan kalau menyetorkan secara tunai di Perbankan, itu kemudian pasti teman-teman PPATK sudah menyala lampunya. Daripada lampu nyala ini jadi penyelidkan lebih lanjut, kemudian mereka menyimpannya tunai," Agus menandaskan.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan dan Bulog, Benny Soetrisno mengatakan, batas maksimal Rp 100 juta terlalu rendah. Terlebih jika batas tersebut diturunkan menjadi Rp 25 juta, sesuai dengan usulan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Mungkin Rp 500 juta lah. Kalau Rp 25 juta terlalu rendah. Kalau diturunkan, itu kasihan pedagang-pedagang tradisional, pedagang pangan. Batas idealnya mungkin Rp 500 juta," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dia mengungkapkan, jika nantinya aturan tersebut telah berjalan dan masyarakat telah mulai terbiasa, maka pemerintah bisa mengevaluasi besarannya.

"Nanti kalau sudah berjalan dan evaluasi, baru diturunkan lagi melalui peraturan menteri. Jadi jangan bikin shock di pasar," lanjut dia.

Selain itu, kata Benny, aturan seperti ini tidak bisa langsung diterapkan jika masyarakatnya belum siap sepenuhnya. Terlebih selama ini masih banyak aktivitas ekonomi masyarakat yang menggunakan uang kartal atau bertransaksi secara tunai.

"Kalau masyarakat sudah terbiasa dengan lalu lintas uang melalui transfer atau m-banking, aturan itu ada baiknya juga karena akan membatasi uang-uang yang tidak jelas, seperti uang teroris, pencucian uang dan lain-lain‎," jelas dia.

Selain itu terkait waktu pengesahan UU, Benny menilai paling tepat jika disahkan usai pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres). Ini agar aturan tersebut tidak mengganggu konsumsi rumah tangga saat pesta demokrasi tersebut.

‎"Sebaiknya setelah (Pilpres). Ini kan kalau ada gangguan pasti ada dampak positif atau negatif, tapi siapa yang bisa jamin gangguan itu menghasilkan hal yang positif. Kan tidak ada (yang bisa menjamin)," tandas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya