China Masih Jadi Pemegang Surat Utang AS Terbesar

Kepemilikan surat utang AS oleh China meningkat, sedangkan Jepang menurun. China menambah pembelian surat utang AS USD 8,5 miliar.

oleh Agustina Melani diperbarui 18 Apr 2018, 08:15 WIB
Foto: npr.org

Liputan6.com, Jakarta - China meningkatkan kepemilikan surat utang Amerika Serikat (AS) sebesar USD 8,5 miliar pada Februari 2018. Angka pembelian itu terbesar dalam enam bulan ini.Kepemilikan surat utang AS oleh China di bawah USD 1,18 triliun.

Pada Desember 2017, kepemilikan surat utang AS oleh China mencapai USD 1,18 triliun. Namun jumlah kepemilikan itu turun menjadi USD 1,17 triliun pada Januari 2018. Saat ketegangan perdagangan antara AS dan China meningkat, ada spekulasi kalau orang China dapat kurangi pembelian surat utang AS, dan bahkan terus jual surat utang atau obligasi.

"Ini peningkatan terbesar dalam enam bulan, tapi itu hanya kenaikan USD 8,5 miliar. Saya tidak berpikir itu benar-benar besar. Bulan lalu ada penurunan cukup besar,” ujar Tom Simons, Ekonom Jefferies, seperti dikutip dari laman CNBC, Rabu (18/4/2018).

China merupakan pemegang surat utang terbesar di AS. Diikuti Jepang. Jumlah kepemilikan surat utang AS di Jepang turun USD 6,3 miliar menjadi USD 1,06 triliun.

"Pendapat pribadi saya tidak ada pilihan nyata bagi mereka untuk menghentikan pembelian. Mungkin mereka sedikit melambat kecuali mereka mempertahankan mata uang mereka terhadap mata uang lain sehingga harus beli dolar AS,” kata Simmons.

Sebelumnya, pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden Donald Trump mengumumkan tarif untuk aluminium dan baja dari China. AS juga umumkan niat untuk mengenakan tarif USD 50 miliar untuk barang China. Trump bahkan mengancam menambah tarif impor USD 100 miliar buat barang lainnya.

 


Ekonomi China Tumbuh 6,8 Persen pada Kuartal I

China | Foto: The China Times

Sebelumnya, China catatkan ekonomi kuat pada awal 2018. Pertumbuhan ekonomi yang positif terjadi di tengah ketegangan potensi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).Pertumbuhan ekonomi China mencapai 6,8 persen pada kuartal I 2018.

Tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut sama pada semester II 2017. Kekhawatiran perang dagang tampaknya tidak terlalu pengaruhi China. Sejak awal 2018, kekhawatiran perang dagang antara AS dan China meningkat tajam. Hal itu seiring kedua negara saling mengumumkan rencana menerapkan tarif impor baru.

Akan tetapi, ancaman tarif impor tidak mempengaruhi kegiatan ekonomi.Pada Maret 2018, Pemerintah China mengatakan, kalau pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen sepanjang 2018. Tingkat pertumbuhan ekonomi itu akan membuat iri negara maju seperti AS. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut lebih rendah dari 2017 sebesar 6,9 persen.Keadaan akan semakin sulit bagi China.

Selain potensi kekhawatiran akibat perang dagang dengan AS, China hadapi tekanan dari upaya pemerintah untuk mengurangi risiko sistem keuangan dan menutup pabrik yang tidak efisien dan berpolusi.

"Kami pikir perlambatan lebih lanjut pada China sebelum akhir tahun," ujar Julian Evans-Pritchard, Ekonom Senior Capital Economics.

Sementara itu, Ekonom Macquaire Larry Hu menuturkan, pertumbuhan ekspor China berada di puncak pada kuartal I 2018. Kemudian akan melambat dalam beberapa bulan mendatang.

Dia mengatakan, mata uang China yuan naik sembilan persen terhadap dolar Amerika Serikat selama setahun terakhir menjadi salah satu alasan.Penguatan yuan membuat barang-barang China menjadi makin mahal untuk importer asing.

"Ekspor China juga akan terpukul jika ekonomi global melambat pada akhir tahun 2018," kata Hu.

Sebelumnya, analis dan pejabat pemerintah China selama bertahun-tahun meragukan akurasi data ekonomi China. Beberapa ekonom menggunakan berbagai sumber informasi lain yaitu output listrik dan pengiriman barang yang dapat hasilkan penilaian independen terhadap kinerja ekonomi China.Indikator itu dinilai sering tidak cocok dengan angka pemerintah.

"Angka pertumbuhan ekonomi resmi perlu diambil dari seluruh indikator karena mereka stabil dalam beberapa tahun terakhir. Saya pikir ekonomi China sebenarnya tumbuh hanya 4,8 persen pada kuartal I,” ujar Evans-Pritchard.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya