Liputan6.com, Jambi - Jamu pegal linu hingga obat kuat masih banyak dipercaya sebagian masyarakat bisa membantu stamina. Hal ini dimanfaatkan sejumlah orang untuk mengedarkan jamu tradisional tak berizin edar alias ilegal.
Harganya yang terbilang murah serta mudah didapat, menjadikan masyarakat cenderung abai bila jamu yang dikonsumsinya adalah barang ilegal. Hal itu tentunya berbahaya karena kandungan dalam jamu belum diuji melalui lembaga resmi.
Baca Juga
Advertisement
Maraknya peredaran jamu tradisional ilegal baru saja terungkap saat jajaran Polda Jambi menyita tak kurang dari 1.500 botol jamu tradisional ilegal asal Cilacap. Oleh distributor yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka, ribuan botol jamu tersebut akan diedarkan di sejumlah toko jamu yang ada di Kota Jambi.
Dalam keterangan persnya di Jambi, Rabu, 18 April 2018, Kapolda Jambi, Brigjen Muchlis AS mengatakan, penyitaan ribuan botol jamu tanpa izin edar itu terungkap dari sebuah laporan masyarakat.
"Lalu pada Rabu, 11 Apri 2018 di Kelurahan Kasang Jaya, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi diamankan satu mobil truk berisi minuman jamu tradisional tanma izin BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," Muchlis menjelaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Terancam Hukuman Penjara 15 Tahun
Ribuan botol jamu itu, kata Muchlis terdiri dari berbagai jenis merek dan kegunaan. Ada merek Kunci Mas, merek Madu Kencleng untuk pegal linu, asam urat hingga merek Putri Sakti untuk obat kuat pria.
Selain itu, polisi juga menangkap satu orang tersangka berinisial DS. DS mengaku hanya sebagai pengedar yang menjual kembali jamu-jamu tersebut ke sejumlah pedagang jamu di Kota Jambi.
Kini, Polda Jambi tengah mendalami kasus temuan jamu tradisional ilegal tersebut. Diduga, selain DS masih ada pelaku lain yang nekat membawa jamu tradisional dari Cilacap untuk diedarkan di Jambi.
Tersangka DS akan dikenakan Pasal 197 juncto Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 106 jo Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp 10 miliar.
"Kasus ini masih dikembangkan untuk memburu pelaku lain," imbuh Muchlis.
Advertisement