Konflik Suriah dan Ramalan Nostradamus dari Balkan soal Perang Dunia III

Sebelum meninggal dunia pada 1996, Baba Vanga sempat membuat prediksi mengkhawatirkan soal Perang Dunia III.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 19 Apr 2018, 07:48 WIB
Ilustrasi bom nuklir (iStock)

Liputan6.com, Damaskus - Kekhawatiran soal bakal meletusnya Perang Dunia III kembali mencuat belakangan, ketika ketegangan di Suriah kembali memuncak antara dua kekuatan besar dunia: Amerika Serikat dan Rusia yang mendukung rezim Bashar al Assad.

Serangan Amerika Serikat dan sekutunya, menyusul klaim soal pemakaian senjata kimia di zona perang itu, membuat sejumlah pihak mengaitkan apa yang terjadi di Suriah dengan prediksi Baba Vanga -- peramal tersohor berjuluk "Nostradamus dari Balkan" yang sudah lama jadi mendiang.

Dikutip dari laman The Sun, Kamis (19/4/2018), Baba Vanga terlahir dengan nama Vangeliya Pandeva Dimitrova pada 1911.

Sebelum meninggal tahun 1996, Baba Vanga sempat membuat prediksi mengkhawatirkan tentang potensi pecahnya Perang Dunia III.

Sebelumnya, Baba Vanga disebut-sebut pernah memprediksi kejadian-kejadian penting seperti serangan Teror 9/11 di New York, Amerika Serikat. Perempuan tunanetra itu juga konon tepat meramalkan soal Brexit dan kelahiran ISIS.

Apa isi ramalan Baba Vanga yang diduga soal Perang Dunia III?

Sebelum meninggal, Baba Vanga disebut pernah mengatakan, "Semua akan mencair seperti es, namun kejayaan Rusa adalah satu-satunya yang akan tetap ada."

"Rusia tak hanya akan bertahan. Mereka akan mendominasi dunia."

Tak ada yang tahu apakah kata-kata yang dilontarkan oleh Baba Vanga bakal menjadi nyata atau pepesan kosong belaka. Sejarah yang akan menjawabnya. 

 

Saksikan video menarik berikut ini:


Amerika Serikat Lancarkan Serangan Militer ke Suriah

Tembakan rudal pencegat mewarnai langit ketika serangan udara koalisi Barat diarahkan ke ibu kota Damaskus, Suriah, Sabtu (14/4). AS, Inggris, dan Prancis melancarkan serangan yang menargetkan pusat penelitian senjata kimia di Suriah. (AP/Hassan Ammar)

Bersama koalisi militernya, Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris melancarkan serangan militer ke Suriah pada Sabtu, 14 April lalu.

Menurut Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tindakan ini dilakukan untuk merespons serangan senjata kimia di negara tersebut.

Dikutip dari laman BBC, kebenaran serangan militer itu disampaikan secara langsung oleh Trump lewat siaran televisi.

"Sebuah operasi gabungan bersama angkatan bersenjata Prancis dan Inggris tengah berlangsung saat ini," ujar Presiden Amerika Serikat tersebut.

Dalam pidatonya, Trump telah memberi persetujuan atas serangan militer di lokasi penyerangan senjata kimia di Suriah. Serangan ini dilancarkan sebagai balasan Amerika Serikat terhadap serangan senjata kimia di Douma pekan lalu, yang menurutnya dilakukan oleh pemerintah Suriah. Sejumlah ledakan pun dilaporkan telah terjadi di dekat ibu kota Suriah, Damaskus.

Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Theresa May membenarkan keterlibatan negaranya. "Tak ada alternatif praktis lainnya selain tindakan militer."

Meski demikian, Theresa May menegaskan bahwa serangan ini dilancarkan bukan dengan maksud mendesak pergantian rezim.

Presiden Trump mengatakan, serangan-serangan ini diarahkan pada sasaran terkait -- lokasi yang dinilai menjadi pusat kemampuan senjata kimia pemerintah Suriah.

Trump juga mengatakan, tujuan serangan militer ini dimaksud untuk membangun pencegahan terhadap produksi, penyebaran, hingga penggunaan senjata kimia.

Dikatakan Trump, dugaan serangan kimia di Douma yang menurutnya dilancarkan oleh pasukan Presiden Bashar al-Assad, bukanlah tindakan yang dilakukan oleh seorang lelaki, melainkan kejahatan yang dilakukan oleh monster.

Di lain sisi, Suriah membantah tuduhan telah melakukan serangan senjata kimia.

Seorang pejabat Amerika Serikat mengatakan, rudal jelajah jenis Tomahawk digunakan dalam serangan tersebut. Dikatakan bahwa hingga saat ini sudah ada enam ledakan keras yang terjadi di Damaskus.

Syrian Observatory for Human Rights -- sebuah lembaga pemantau HAM yang berpusat di Inggris -- mengatakan bahwa serangan-serangan itu menyasar pada fasilitas riset ilmiah di Suriah dan sejumlah fasilitas lain di Damaskus.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya