Kementerian ESDM Keluarkan Aturan Penjualan BBM Nonsubsidi pada Pekan Ini

Kementerian ESDM menyatakan, prosedur penjualan BBM nonsubsidi juga melibatkan Pertamina hingga pihak swasta.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 19 Apr 2018, 10:38 WIB
Pemotor mengisi BBM di SPBU Pertamina, Jakarta, Kamis (15/6). Mulai tanggal 18 Juni-24 Juli, harga Pertamax menjadi Rp.8000 8000 yang berlaku di SPBU bertanda khusus yang tersebar di jalur mudik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Banggai - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menekan margin keuntungan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi maksimal 10 persen. Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait itu diusahakan bakal selesai pada pekan ini.

Soal pengusulan harga BBM nonsubsidi, Kementerian ESDM juga memangkas waktunya, dari 10-15 hari menjadi hanya lima hari saja.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM, Harya Adityawarman, menyatakan, pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM terkait penjualan BBM nonsubsidi seperti Pertalite dan Dexlite yang disediakan PT Pertamina (Persero), ataupun bahan bakar milik Total dan Shell.

"Ke depan, Permen ESDM juga akan mengatur yang umum, sama kayak yang sekarang diatur untuk PSO (Public Service Obligation/BBM subsidi). Misalnya Pertalite, Dexlite, dan itu tidak hanya Pertamina saja. Semua badan usaha termasuk Total dan Shell," ujar dia di Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Kamis (19/4/2018).

Dia mengatakan, jika ada perubahan harga bahan bakar dari perseroan tersebut, pemerintah yang akan menyetujuinya. "Pada dasarnya, apa yang pemerintah lakukan, mereka mengikuti," ujar dia.

Pria yang akrab disapa Didit itu menambahkan, pemerintah bakal mengecek komponen pembentuk harga, antara lain penyediaan BBM, biaya distribusi sampai margin keuntungan yang pihak swasta tetapkan. Itu dilakukan untuk memastikan apakah pengajuan kenaikan harga sudah tepat atau belum.

Dalam kajian pengeluaran SOP tersebut, Kementerian ESDM turut melibatkan Pertamina hingga pihak swasta penyalur bahan bakar seperti PT Total Oil Indonesia dan PT Shell Indonesia.

"SOP-nya kemarin baru akan disusun. Tapi nyusunnya bareng-bareng sama mereka. Pertama kan ada 10 hari, kalau 10 hari kan kelamaan, coba lima hari. Itu yang baru akan kita akan susun SOP-nya," tutur dia.

Didit menekankan, margin keuntungan terbesar yang boleh pihak swasta ambil maksimal 10 persen. Dia menyebutkan, dengan margin 2 persen pun sebuah perusahaan minyak dan gas akan tetap mendapat keuntungan bila volume bahan bakar yang dimiliki besar.

"Pertamina juga untuk volume kecil dia margin-nya besar. Tapi untuk yang reguler, marginnya kecil," kata dia.

Terakhir, ia memastikan, SOP perihal penetapan margin keuntungan penyaluran BBM akan segera keluar pada satu pekan ke depan.

"Mungkin dalam Minggu ini kelar. Wong itu cuman kesepakatan hari saja," ujar dia.

 


ESDM: Kenaikan Harga Harus Dapat Persetujuan agar BBM Nonsubsidi Tetap Laku

Mesin pengisian ulang bahan bakar minyak di salah satu SPBU, Jakarta, Selasa (15/3). Pertamina menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) umum Pertamax, Pertamax Plus, Pertamina Dex, dan Pertalite Rp 200 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan tujuan lain dari rencana penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi harus mendapat persetujuan pemerintah.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto‎ mengatakan, melalui persetujuan kenaikan harga BBM non-subsidi, pemerintah juga menghilangkan batas bawah keuntungan penjualan harga BBM non-subsidi yang sebelumnya ditetapkan 5 persen.

Dengan begitu, badan usaha bisa menetapkan harga lebih rendah karena keuntunganya bisa jauh lebih rendah."Sebelumnya di batas bawah untungnya 5 persen. Sekarang itu dihilangkan, tapi batas maksimum 10 persen. Jadi dia tidak bisa ngusulin harga yang marginnya di atas 10 persen. Dia bisa ngajuin sampai 10 persen, tapi harus dapat persetujuan menteri," kata Djoko, di Jakarta, Kamis 12 April 2018.

Dengan harga yang jauh lebih rendah, maka harga yang ditetapkan dapat mendekati harga Premium sebesar Rp 6.450 per liter untuk di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dan Rp 6.550 per liter untuk di wilayah Jamali. Sehingga masyarakat tetap menggunakan BBM non-subsidi dan tidak akan beralih ke Premium.

"Kita bisa menentukan kalau dengan harga yang dia usulkan katakan 6 persen atau 5 persen, itu mengakibatkan perbedaan harga yang besar dengan premium. Kalau harga besar otomatis masyarakat beralih kan," tutur Djoko.

Djoko mengakui, kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan perusahaan. Pasalnya, dengan keuntungan lebih sedikit dan harga tidak naik tinggi maka masyarakat akan tetap mengonsumsi BBM non-subsidi, ketimbang keuntungan besar namun penjualan BBM non-subsidi‎ berkurang karena masyarakat beralih ke Premium.

"Ngapain kamu jualan tapi enggak ada yang beli, mendingan harga dikurangin tapi dapat margin, katakan 1 persen saja, sehingga harganya mendekati Premium. Dengan demikian, jualan dia bisa tetap laku meskipun hanya 1 persen," ucap Djoko.

Djoko mengungkapkan, kebijakan baru terhadap penetapan kenaikan harga yang harus mendapat persetujuan pemerintah menguntungkan semua pihak, masyarakat tetap bisa menjangkau BBM dengan kulitas baik dan badan usaha ‎tidak mengalami penurunan penjualan."Jadi persetujuan ini menguntungkan semua pihak. Masyarakat bisa tetap menggunakan BBM berkualitas tinggi dengan harga yang tidak terlalu jauh," tandasnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya