Liputan6.com, Khartoum - Presiden Sudan, Omar al-Bashir pada hari Kamis waktu setempat memecat Menteri Luar Negerinya, Ibrahim Ghandour. Hal ini terjadi setelah Ghandour mengungkapkan di hadapan publik bahwa diplomat Sudan yang bertugas di luar negeri belum digaji selama berbulan-bulan.
Dalam pidatonya di hadapan anggota parlemen pada hari Rabu atau tepat satu hari sebelum pemecatannya, Ghandour mengatakan, selain tidak bisa menggaji para diplomat, kementerian yang dipimpinnya juga tidak mampu membayar uang sewa sejumlah misi diplomatik Sudan.
"Selama berbulan-bulan, para diplomat Sudan belum menerima gaji dan ada juga penundaan pembayaran sewa untuk misi diplomatik," kata Ghandour tanpa merinci lebih lanjut seperti dikutip dari middleeasteye, Jumat (20/4/2018).
Menurut Ghandour, dibutuhkan dana sekitar US$ 30 juta untuk membayar gaji para diplomat dan sewa misi diplomatik. Sementara, anggaran total tahunan Kementerian Luar Negeri Sudan sekitar US$ 69 juta.
Sudan dilaporkan tengah mengalami kekurangan akut mata uang asing, menyusul memburuknya krisis ekonomi di negara itu. Dan pernyataan Ghandour merupakan komentar publik pertama yang terlontar dari mulut seorang pejabat pemerintah Sudan tentang ketidakmampuan bank sentral menyediakan mata uang asing untuk urusan negara.
Baca Juga
Advertisement
"Situasinya sekarang telah berubah jadi berbahaya, itulah mengapa saya membicarakannya secara terbuka," jelas Ghandour.
Ghandour, diplomat yang merundingkan pencabutan sanksi dari Amerika Serikat menjelaskan, di kalangan diplomat Sudan berkembang anggapan bahwa membayar gaji mereka dan sewa misi diplomatik bukanlah prioritas.
"Beberapa duta besar dan diplomat ingin kembali ke Khartoum sekarang ... karena kesulitan yang mereka dan keluarga mereka hadapi," imbuhnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Perpisahan Selatan dan Utara jadi Pemicu
Akibat sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat, Sudan telah terputus dari pendanaan internasional dalam beberapa dasawarsa terakhir. Namun, beberapa sanksi telah dicabut tahun lalu.
Para pejabat Sudan dinilai telah mencoba menarik investor untuk membantu menopang perekonomian, yang berjuang susah payah sejak Selatan memisahkan diri pada 2011. Perpisahan itu merugikan sektor perminyakan Sudan, sumber utama mata uang asing dan pendapatan pemerintah.
Bank sentral Sudan selama bertahun-tahun menghindari merilis informasi tentang kepemilikan mata uang asingnya.
Meskipun Washington telah mencabut sanksi, namun Khartoum masuk dalam daftar "sponsor negara terorisme", hal ini membuat Sudan kian kesulitan untuk mengakses pinjaman dan bantuan internasional.
Protes meletus pada bulan Januari setelah harga bahan makanan, terutama roti, mencapai lebih dari dua kali lipat.
Demonstrasi antipemerintah dengan cepat dikekang oleh pasukan keamanan di tengah tindakan represif yang berujung pada penangkapan sejumlah tokoh oposisi dan ratusan demonstran.
Sebagian besar tahanan kini dibebaskan setelah Presiden Bashir memerintahkan pembebasan mereka.
Advertisement