Rupiah Lesu, Laju IHSG Perkasa Selama Sepekan

Saham berkapitalisasi besar dan neraca dagang surplus pada Maret 2018 mendorong penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan.

oleh Agustina Melani diperbarui 21 Apr 2018, 09:30 WIB
Pekerja tengah melintas di dekat papan pergerakan IHSG usai penutupan perdagangan pasar modal 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Pada penutupan perdagangan saham, Jumat (29/12/2017), IHSG menguat 41,60 poin atau 0,66 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan penguatan selama sepekan. Akan tetapi, investor asing masih jual saham.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (20/4/2018), IHSG naik sekitar 1,07 persen dari posisi 6.270 pada Jumat 13 April 2018 menjadi 6.337 pada 20 April 2018.

Saham-saham kapitalisasi besar masuk indeks LQ45 mencatatkan penguatan 1,16 persen selama sepekan. Sedangkan saham kapitalisasi kecil melemah.

Investor asing pun masih lepas saham di pasar saham Indonesia. Pada pekan ini, aksi jual investor asing capai USD 139 juta atau sekitar Rp 1,93 triliun (asumsi kurs Rp 13.944 per dolar Amerika Serikat).

Sementara itu, indeks BINDO yang melihat gerak surat utang turun 0,27 persen selama sepekan. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun naik 20 basis poin menjadi 6,8 persen. Rupiah pun melemah ke posisi 13.893 per dolar Amerika Serikat. Investor asing masih beli obligasi di pasar obligasi. Tercatat aksi beli USD 23 juta atau sekitar Rp 320,60 miliar.

Ada sejumlah faktor baik internal dan eksternal bayangi pasar modal Indonesia pada pekan ini. Dari eksternal, rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) jadi sorotan.

Salah satunya perdagangan ritel naik 0,6 persen pada Maret 2018. Perdagangan ritel pulih dari posisi Februari yang susut 0,1 persen. Angka kenaikan 0,6 persen itu juga mengalahkan harapan pasar yang naik 0,4 persen. Kenaikan perdagangan ritel dipicu pembelian kendaraan bermotor.

Sentimen eksternal lain datang dari rilis data ekonomi China. Tercatat ekonomi China tumbuh 6,8 persen pada kuartal I 2018. Hal ini sejalan dengan harapan pasar. Angka tersebut juga sama dengan dua kuartal sebelumnya.

“Pertumbuhan ekonomi China terutama didukung konsumsi yang solid, investasi properti dan ekspor,” tulis laporan Ashmore.

Dari internal, Indonesia mencatatkan surplus USD 1,1 miliar pada Maret 2018 dari prediksi konsensus USD 89 juta.Hal itu didorong impor lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Impor tumbuh 9,1 persen pada Maret 2018. Sedangkan ekspor tumbuh 6,1 persen. Surplus neraca perdagangan itu dinilai cukup mengejutkan.

 


Selanjutnya

Pergerakan saham terlihat di sebuah monitor, Jakarta, Jumat (29/12). Angka tersebut naik signifikan apabila dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencatat penutupan perdagangan pada level 5.296,711 poin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ashmore Asset Management menyebutkan kalau tekanan rupiah belum akan berkurang. Hal itu karena neraca pembayaran meski berbalik positif pada Maret 2018 namun memiliki tekanan dari pertumbuhan impor. Kedua, Mei-Juni merupakan musim dividen. Ketiga, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di 4,25 persen.

Bank sentral menekankan risiko sentimen eksternal mulai dari harga minyak yang menguat dan ketegangan perdagangan antara AS dan China."Tidak ada langkah-langkah prudensial makro yang ditawarkan, namun langkah-langkah pelonggaran dapat segera dirilis dalam satu dan dua bulan ke depan untuk mendorong sektor properti,” tulis Ashmore.

Lalu apa yang dicermati ke depan?

Salah satunya dampak harga komoditas. Pemulihan harga komoditas akan berlanjut pada 2018. Hal tersebut diharapkan juga berdampak terhadap konsumsi masyarakat. Apalagi ada anggaran pemerintah untuk bantuan sosial menjadi tambahan untuk dongkrak konsumsi.

Meski demikian, pencairan dana desa masih lambat. Menurut Ashmore, sekitar 80 persen dana desa hingga April 2018 sudah berada di tingkat pemerintah daerah namun belum mencapai desa-desa. Diharapkan pemilihan daerah pada Juni 2018 dapat memberikan insentif tambahan bagi pemerintah daerah untuk mencairkan dana desa.

Dengan kondisi tersebut, Ashmore melihat selektif untuk sektor saham terutama komoditas. Hal ini lantaran kinerja perusahaan cukup solid dan rupiah masih berada di posisi 13.700-13.800 per dikar Amerika Serikat.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya