Orang Berparas Sangat Tak Menarik Cenderung Dapat Gaji Lebih Tinggi

Studi baru yang dipublikasikan di Journal of Business and Psychology justru menemukan hal yang bertentangan dengan teori beauty premium. Seperti apa?

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 23 Apr 2018, 07:00 WIB
Ilustrasi gaji. (pixabay.com)
Liputan6.com, Jakarta Berbagai penelitian selama ini menemukan orang-orang dengan paras menarik dapat lebih mudah mendapat pekerjaan dan bergaji lebih tinggi.
 
Namun ternyata, studi baru yang dipublikasikan di Journal of Business and Psychology justru menemukan hal yang bertentangan dengan teori beauty premium ini.
 
Melansir laman Business Insider, Senin (23/4/2018), sejumlah penelitian selama ini menunjukkan, orang yang secara fisik tampan atau cantik cenderung lebih lebih percaya diri serta memiliki kemampuan sosial yang lebih baik.
 
Lebih beruntung lagi, mereka yang berparas menarik cenderung memiliki gaji yang lebih besar dibandingkan mereka yang berparas biasa.
 
Namun penelitian yang dilakukan Satoshi Kanazawa dari London School of Economics and Political Science dan Mary Still dari University of Massachusetts di Boston justru menunjukkan fakta sebaliknya. Penemuan keduanya menunjukkan teori ugliness penalty ternyata tak sesederhana itu.
 
Kedua peneliti tersebut menganalisa data dari 20 ribu pemuda Amerika Serikat. Mereka diwawancara dan diukur kadar daya tariknya. Itu dilakukan selama tiga kali dari usia 16 hingga 29 tahun.
 
Salah satu penemuannya cukup mengejutkan, kelompok partisipan yang dilabeli very unattractive (sangat tidak menarik) justru mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya unattractive (tidak menarik).
 
Begitu pula yang terjadi saat penghasilan kategori very unattractive dibandingkan dengan kategori `average looking` (berparas rata-rata) dan `attractive` (menarik).
 
Metode dalam berbagai studi sebelunya tidak pernah sungguh-sungguh mengklasifikasi kelompok orang-orang jelek. Itu lantaran very unattractive dan unattractive selalu dimasukkan ke dalam satu kelompok.
 

Di Negara Ini, Uang Bukan Alasan Utama Pekerja Saat Resign

Ilustrasi pekerja.(iStock)

Apakah Anda akan meninggalkan pekerjaan Anda saat ini demi memperoleh gaji yang lebih besar? Bagi sebagian besar orang mungkin tak ragu-ragu meninggalkan pekerjaan lamanya demi gaji yang lebih besar, namun nyatanya hal ini justru tak berlaku di negara maju Singapura.

Di negara yang memiliki julukan sebagai The Lion City atau Kota Singa ini, para pekerja profesionalnya menganggap bahwa uang bukanlah segalanya. Motivasi yang kuat bagi mereka yang memilih mencari peluang kerja baru dikarenakan ingin memiliki tempat kerja yang seimbang.

Menurut survei terbaru yang dilakukan oleh perusahaan rekrutmen spesialis global, Robert Half, 1 dari 4 (25 persen) pekerja Singapura akan meninggalkan organisasi atau perusahaan mereka saat ini demi mendapat keseimbangan tempat kerja yang lebih baik.

Kemudian, baru diikuti oleh 24 persen pekerja yang ingin mendapat imbalan finansial yang lebih baik, dan 23 persen lainnya yang mendambakan pengembangan karier.

Managing director Robert Half Singapura, Matthieu Imbert-Bouchard mengatakan, “Gaji tetap menjadi bagian penting dari paket remunerasi di Singapura, dan perusahaan-perusahaan menyadari bahwa mereka harus menawarkan paket gaji di atas rata-rata untuk menjamin para profesional memiliki kesanggupan yang tinggi.”

“Namun, ada perubahan preferensi yang konstan dari pencari kerja yang mencari lebih banyak keseimbangan tempat kerja, dan bahkan memprioritaskan non finansial insentif selain hanya gaji yang lebih tinggi," jelasnya.

Tonton Video Ini:

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya