Liputan6.com, Jakarta - Seperti diwartakan sebelumnya, Uganda dikabarkan akan memungut pajak pada warga negara yang menggunakan media sosial.
Menurut Menteri Keuangan Uganda, Matia Kasaija, pajak ini akan dibebankan pada pengguna WhatsApp, Twitter, dan Facebook. Adapun pajak yang ditarik pemerintah adalah 200 shiling (Rp 747).
Baca Juga
Advertisement
"Kami berencana mengumpulkan lebih banyak uang untuk menjamin keamanan negara dan menyediakan pasokan listrik lebih banyak. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati media sosial lebih sering dan nyaman," tuturnya.
Dikutip dari Reuters, Selasa (23/4/2018), aturan pajak media sosial ini akan mulai diberlakukan pada Juli 2018 untuk meningkatkan kas negara. Kendati demikian, rencana ini ditentang sejumlah elemen masyarakat.
Nah, meski kejadiannya berlangsung di Uganda, coba bayangkan hal ini terjadi di Indonesia. Apakah kita bisa menerima kenyataan kalau pengguna media sosial dipungut pajak oleh pemerintah? Bagaimana jadinya?
Kali ini, Tekno Liputan6.com akan mengajakmu untuk jajak pendapat lewat polling tentang bagaimana jika pemerintah memungut pajak pengguna media sosial di Indonesia. Apakah kamu setuju atau tidak? Yuk, keluarkan pendapatmu di polling berikut ini.
Facebook, Twitter, dan WhatsApp Jadi 'Barang Haram' di Uganda
Sekadar informasi, Facebook, Twitter, dan WhatsApp sebenarnya sempat menjadi layanan teknologi terlarang di Uganda. Bahkan, pada 2016, negara tersebut sempat memblokir akses ke tiga aplikasi itu.
Pemerintah negara tersebut memang diketahui sudah beberapa kali memblokir akses terhadap media sosial. Keputusan pembokiran ini didukung kuat oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni.
Menurut kabar yang beredar, banyak yang tidak puas dengan kinerja Museveni sebagai pemimpin negara yang berada di timur Afrika tersebut selama tiga dekade terakhir.
Akibatnya, banyak yang menyuarakan petisi untuk melengserkan Museveni di media sosial. Museveni pun geram dan memblokir semua akses media sosial untuk pertama kalinya pada Februari 2016 lalu.
Advertisement
Alasan Museveni
Museveni berdalih, media sosial bisa menjadi propaganda dan dimensi baru di mata masyarakat Uganda.
"Pemerintah sendiri tahu, Museveni bukan dipilih kebanyakan warga negara Uganda. Yang ditakutkan, mereka akan melakukan propaganda 'gerakan bawah tanah' untuk menggulung Museveni," kata Jeff Wokulira Ssebaggala, analis politik dan internet yang juga Chief Executive Unwanted Witness, sebuah organisasi nonprofit Uganda.
Tak hanya media sosial, beberapa media pemberitaan pun dilarang untuk menyebarkan informasi negatif soal Museveni. Tahun ini, sekumpulan jurnalis lokal Uganda ditangkap karena memberitakan informasi bahwa Museveni seorang diktator besar.
(Jek/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: