Rupiah Terus Tertekan, Dekati Level 14.000 per Dolar AS

Bank Indonesia mengaku telah melakukan intervensi di pasar secara besar-besaran. Terbukti pada kemarin pelemahan rupiah bisa diminimalisasi.

oleh Arthur Gideon diperbarui 24 Apr 2018, 11:04 WIB
Teller menghitung mata uang dolar di penukaran uang di Jakarta, Jumat (20/4). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih melemah pada perdagangan Selasa pekan ini. Pelemahan rupiah ini lebih disebabkan faktor eksternal.

Mengutip Bloomberg, Selasa (24/4/2018), rupiah dibuka di angka 13.921 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.975 per dolar AS.

Namun kemudian, rupiah kembali melemah hingga menyentuh level 13.976 per dolar AS. Posisi ini merupakan pelemahan terburuk sejak 2016. Jika dihitung dari awal tahun, pelemahan rupiah mencapai 2,37 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), pada hari ini rupiah dipatok di angka 13.900 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.894 per dolar AS.

Dolar AS memang terus perkasa di kawasan Asia termasuk terhadap rupiah. Penguatan dolar AS ini karena kenaikan imbal hasil surat utang AS berjangka waktu 10 tahun. Kenaikan imbal hasil ini menuju ke level psikologis, yaitu 3 persen.

Pada perdagangan kemarin, imbal hasil surat utang AS berada di angka 2,998 persen, yang merupakan level tertinggi dalam empat tahun ini. Kenaikan imbal hasil tersebut karena kekhawatiran peningkatan pasokan utang pemerintah AS dan tekanan inflasi dari kenaikan harga minyak.

Kepala perdagangan Asia Pasifik Oanda Singapura, Stephen Innes, mengatakan bahwa dolar AS mendapat tenaga yang besar dari imbal hasil surat utang AS.

"Semula pelaku pasar melihat bahwa kenaikan tidak akan besar, tetapi ternyata cukup tinggi akan kemungkinan berlangsung cukup lama," jelas dia.


Intervensi Pasar

Teller menghitung mata uang dolar di penukaran uang di Jakarta, Jumat (20/4). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pagi ini melemah ke posisi di Rp 13.820. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Melihat pelemahan nilai tukar rupiah ini, Bank Indonesia mengaku telah melakukan intervensi di pasar secara besar-besaran. Terbukti pada kemarin pelemahan rupiah bisa diminimalisasi.

"Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar SBN dalam jumlah cukup besar," kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo kepada wartawan, Selasa (24/4/2018).

Disebutkan Agus, rupiah yang pada Jumat pekan lalu sempat terdepresiasi sebesar -0,70 persen, pada Senin ini hanya melemah -0,12 persen. Angka ini lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti Filipina PHP -0,32 persen, India INR -0,56 persen, Thai THB -0,57 persen, Meksiko MXN -0,89 persen, dan Afrika Selatan ZAR -1,06 persen.

Gambaran serupa juga tampak dalam periode waktu yang lebih panjang. Dengan dukungan upaya stabilisasi oleh BI, sejak awal April (mtd), rupiah melemah -0,91 persen, lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti THB -1,04 persen, INR -1,96 persen, MXN -2,76 persen, ZAR -3,30 persen.

Demikian pula, sejak awal tahun 2018 (ytd) IDR melemah -2,35 persen, juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti BRL -3,06 persen, INR -3,92 persen, PHP -4,46 persen, dan Turkey TRY -7,17 persen.


Permintaan Valas

Teller menghitung mata uang dolar di penukaran uang di Jakarta, Jumat (20/4). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pagi ini melemah ke posisi di Rp 13.820. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Agus menegaskan, Bank Indonesia akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah. Ini baik yang dipicu oleh gejolak global, seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Infonesia.

Selain itu, risiko yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik, terkait kebutuhan pembayaran impor, ULN, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II.

"Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," dia menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya