Serikat Buruh Bakal Gugat Aturan Tenaga Kerja Asing ke Mahkamah Agung

Serikat buruh yang tergabung dalam KSPI bakal mengajukan judicial review terkait aturan tenaga kerja asing ke MA.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 24 Apr 2018, 13:24 WIB
Presiden DPP KSPI Said Iqbal. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bakal mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA). Uji materi ini akan disodorkan ke Mahkamah Agung (MA).

Pengajuan judicial review ini direncanakan pada minggu ini dengan didampingi tim penasihat hukum dari Yusril Ihza Mahendra.

"Kami minta Pepres Nomor 20 ini dicabut, atau kalau tidak, hari Kamis ini kami akan ajukan judicial review di Mahkamah Agung," kata Presiden KSPI Said Iqbal di Hotel Mega Proklamasi, Selasa (24/4/2018).

Menurutnya, Prepres tersebut tidak ada fungsinya, bahkan malah mengancam lapangan kerja bagi para pekerja Indonesia. Jika esensi Perpres tersebut untuk membatasi masuknya tenaga kerja asing, Said menyebut pemerintah sudah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dia bahkan menduga ditekennya Pepres Nomor 20 Tahun 2018 ini menjadi salah satu paket kebijakan investasi yang disyaratkan China. Seperti diketahui, saat ini banyak proyek strategis di Indonesia di mana investornya dari China, salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Sebenarnya, kata Said, KSPI tidak anti-tenaga kerja asing. Hanya saja yang dipermasalahkan adalah adanya TKA unskill yang juga bekerja di beberapa perusahaan di Indonesia. Padahal seharusnya TKA itu khusus pekerja yang memiliki skill khusus yang tidak ada di Indonesia.

"Perpres 20 itu tidak diperlukan. Yang dibutuhkan itu pendataan, penataan dan penegakan hukum sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003. Karena nyatanya banyak TKA dari China yang justru sebagai buruh kasar," terangnya.

Said menjelaskan perusahaan yang mempekerjakan TKA yang tak memiliki skill tersebut memiliki cara untuk menghindar dari sidak yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) pemerintah setempat, sehingga tidak pernah diketahui.

"Temuan kami, laporkan di Pulogadung ada 6 perusahan baja, yang 30 persennya tenaga kerja asing dari China yang menjadi buruh kasar," pungkasnya. 


Ada Aturan Baru Tenaga Kerja Asing, Nasib Pekerja RI di Ujung Tanduk?

Sebanyak 29 tenaga kerja asing asal Republik Rakyat China (RRC) dideportasi.

Setelah utang, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) kini menjadi perdebatan. Sejumlah pihak mengkhawatirkan penyederhanaan izin warga asing yang bekerja di Indonesia akan meningkatkan pengangguran.

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Susilo Andi Darma, mengungkapkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang tenaga kerja asing.

Pada Pasal 45 disebutkan pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing.

"TKA itu boleh masuk dalam konteks alih keahlian, bukan untuk pekerja yang tidak ada ilmu atau non-skill. Kenapa harus ada pekerja asing? Ya karena kita tidak punya skill. Contohnya di perusahaan teknologi tinggi, seperti pertambangan, otomotif," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, pada 19 April 2018.

Namun praktiknya, Andi menegaskan, pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan peraturan perundang-undangan tersebut. Alih-alih investasi, tenaga kerja asing justru menyerbu Indonesia.

"Waktu saya ke Balikpapan, banyak pekerja dari China yang masuk ke sana tanpa diketahui pemerintah. Ya itu, konteksnya investasi," ujarnya.

Bahkan Andi mengaku, para mahasiswanya sedang meneliti maraknya tenaga kerja asing di Indonesia, salah satunya menjadi pengajar bahasa Inggris. Padahal, izin mereka sebagai turis.

"Banyak (kasusnya). Mahasiswa saya sedang meneliti pekerja khusus, bahasa Inggris. Mereka kan datang bukan untuk bekerja, tapi untuk menjadi wisatawan yang tiba-tiba bekerja. Ini pelanggaran karena bahasa Inggris kan kita bisa pelajari, apa harus dari asing, di mana alih teknologinya," kata dia.

Parahnya lagi, Andi menjelaskan, ada peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pemandu atau pendamping karaoke bisa dari tenaga kerja asing.

"Sudah banyak peraturan menteri (permen) ketenagakerjaan terkait pekerjaan tertentu yang dibolehkan untuk asing. Sampai pendamping karaoke bisa dari asing, itu ada sekitar 10 permen yang mengatur soal itu," paparnya.

Itu artinya, Andi bilang, selama ini dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 saja, pemerintah tidak konsisten dengan peraturan tersebut. Lalu, sambungnya ditambah lagi dengan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 dengan dalih bukan untuk mempermudah masuknya tenaga kerja asing, melainkan untuk menyederhanakan izin warga asing yang bekerja di Indonesia. Tentunya jabatan manager ke atas.

"UU dan Permen tidak sejalan, tidak konsisten. Apalagi ini ada Perpres 20/2018. Saya tidak tahu ada apa di balik ini, apakah kepentingan ekonomi lebih kuat dibanding hukum," kata dia.


Ajukan Judicial Review

Ribuan buruh melakukan aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (1/9/2015). Dalam aksinya mereka mengajukan beberapa tuntutan diantaranya perlindungan terhadap serbuan tenaga kerja asing di Indonesia. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Andi khawatir, Perpres 20 Tahun 2018 tentang penggunaan TKA akan bernasib sama dengan UU Nomor 13 Tahun 2003, sehingga akan mengancam nasib para pekerja Indonesia.

"Kalau lihat banyak tenaga kerja asing masuk, pekerja kita nanti akhirnya tidak bekerja. Pemerintah bikin program buka lapangan kerja, tapi bukan pekerja kita yang kerja, malah asing," tegasnya.

"Akhirnya tenaga kerja kita kembali jadi TKI atau TKW di negara orang. Lalu tiba-tiba dapat berita, mau dipancung," papar Andi.

Oleh karena itu, Andi menyarankan kepada pemerintah untuk kembali berkiblat pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Kembali saja ke UU, tidak usah bikin sesuatu yang baru. Konsisten jalankan UU yang sudah ada karena mereka (pemerintah) bikin aturan populis tapi merusak diri sendiri. Sebab seolah-olah baru, padahal sudah banyak Permen yang dikeluarkan tapi tidak sejalan dengan UU," terangnya.

Andi mengaku, para pemerhati atau pengamat ketenagakerjaan akan bergerak mengajukan permohonan judicial review terhadap Perpres Nomor 20 Tahun 2018.

"Dari teman-teman asosiasi pengajar dan pemerhati ketenagakerjaan akan melakukan judicial review terhadap Perpres tersebut karena tidak sesuai UU Nomor 13 Tahun 2018," paparnya.

Dia berharap, pemerintah dapat konsisten mengimplementasikan pendidikan dan pelatihan vokasional sehingga meningkatkan daya saing pekerja Indonesia. 

"Jalan satu-satunya ya pendidikan dan pelatihan vokasional digalakkan. Tapi ini saja tidak tahu sudah jalan atau belum," pungkas Andi. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya