Liputan6.com, Jakarta Dari zaman perang hingga zaman perundingan, istilah pengungsi tak pernah lepas jadi bahan diskusi. Persoalan hak asasi manusia ini acap kali menjadi masalah tak ada habisnya untuk didiskusikan. Banyak negara di dunia mencoba menyelesaikan persoalan satu ini. Tak heran muncul Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Beberapa negara besar seperti Australia dan Amerika Serikat telah meratifikasi konvensi tersebut.
Advertisement
Pada dasarnya, semua negara yang telah meratifikasi konvensi wajib menerima dan memberikan perlindungan terhadap pengungsi. Begitu punsebaliknya, negara yang belum meratifikasi konvensi diharapkan turut andil dalam perlindungan bagi pengungsi. Salah satunya, Indonesia. Meskipun negara Indonesia tidak pernah menjadi anggota dari pertemuan-pertemuan multilateral tersebut dan hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian terkait pengungsi, tetapi Indonesia tetap menerima pengungsi sebagai wujud apresiasi nilai-nilai luhur terhadap HAM.
Hal yang menjadi perhatian adalah pada Konvensi Pengungsi 1951 dimuat pasal tentang pelarangan pengusiran pengungsi. Pelarangan pengusiran pengungsi secara implisit diterangkan di sini. Namun dalam praktiknya, cukup banyak negara yang melakukan pengusiran terhadap pengungsi atau mengirim pengungsi tersebut ke negara ketiga. Hal ini bukan semata-mata karena negara tersebut tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ada beberapa faktor, seperti ketersediaan ruang tempat tinggal dan fasilitas yang kurang memadai.
Namun sangat disayangkan jika suatu negara yang dianggap mampu menerima pengungsi justru bersikap acuh tak acuh. Organisasi Internasional di bawah PBB seperti UNHCR yang menangani permasalahan serta menentukan status bagi pengungsi seolah-olah berada dibawah kendali negara-negara adi kuasa. Ironinya, Australia salah satu negara yang meratifikasi konvensi justru mempunyai kebijakan Turn Back The Boat. Kebijakan ini membuat pengungsi tidak bisa masuk ke negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi Internasional tersebut, bahkan menggiring para pengungsi ke perairan Indonesia.
Melanggar kode etik
Kebijakan pemerintah yang diterbitkan oleh Perdana Menteri Tony Abbot ini justru melanggar kode etik Konvensi Pengungsi Internasional. Sudah seharusnya negara yang menjadi anggota Konvensi Pengungsi menerima dan menampung pengungsi di negaranya, bukan sebaliknya.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, negara Indonesia bukan merupakan negara pihak konvensi yang menyetujui penampungan pengungsi. Namun, pada praktiknya, Indonesia tetap menerima pengungsi karena berpegang teguh pada sejarah bangsa mengenai HAM. Kondisi ini tidak didukung dengan ketersediaan tempat dan kesesuaian jumlah penduduk Indonesia yang kini menempati posisi ke-4 terbanyak di dunia setelah India. Selain itu, negara Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai tingkat kemiskinan yang tergolong masih tinggi.
Masih banyak warga negara yang hidup melarat dan tidak mempunyai rumah tinggal yang layak, bahkan ada yang menjadi homeless person. Menurut data Lembaga Demografi Universitas Indonesia, sebanyak 20,5 persen penduduk Indonesia tidak memiliki rumah. Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan negara penampung pengungsi. Meskipun kebutuhan pengungsi dibiayai oleh IOM dan UNHCR, namun Pemerintah Indonesia juga mengambil andil yang cukup besar di dalamnya.
Negara seakan-akan lupa dan sibuk menunjukkan eksistensinya di dunia Internasional. Sudah sepantasnya negara yang menjunjung tinggi HAM memperhatikan kesejahteraan warga negaranya terlebih dahulu. Jika masih banyak warga negara yang tidak terpenuhi haknya, maka HAM juga tidak bisa dijadikan alasan untuk dapat menampung pengungsi.
Sejatinya, dunia internasional mempunyai sekat antarnegara, dimana setiap negara berhak tidak ikut campur atas urusan negara lain dan sekat ini membuat suatu negara bisa lebih konsen atas urusan rumah tangganya. Dalam hal ini, negara Indonesia berhak menolak pengungsi ‘buangan’ dari negara Australia. Karena pada dasarnya, permasalahan pengungsi bukan menjadi fokus utama bagi pemerintah Indonesia.
Terlebih karena Indonesia bukan merupakan negara yang menandatangani Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Untuk menindaklanjuti hal tersebut diperlukan sikap tegas Pemerintah Indonesia agar dapat menyuarakan haknya kepada negara Australia dan dunia internasional. Tidak akan ada HAM yang ditegakkan jika masih ada warga negaranya yang sengsara.
Syafitri Rinjani, Taruni Tingkat 2 Politeknik Imigrasi Angkatan XIX
Advertisement