Liputan6.com, Jakarta Ketua DPR Bambang Soesatyo merespons pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Berdasar data Bank Indonesia (BI), kurs USD mendekati angka Rp 14.000 per USD.
Bambang mengatakan, Kementerian Keuangan dan BI harus punya langkah-langkah antisipatif demi menjaga stabilitas rupiah agar tetap normal. Menurutnya, berbagai aspek yang memengaruhi kurs rupiah harus terus dipantau.
Baca Juga
Advertisement
“Mengingat stabilitas nilai tukar menjadi suatu hal yang penting, terutama karena akan ada peningkatan konsumsi kebutuhan bahan pokok menjelang Ramadan,” ujar Bamsoet, sapaan akrab politikus ini, di Jakarta, Rabu (25/4/2018).
Selain itu, dia juga meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN untuk terus melakukan efisiensi di tengah pelemahan rupiah saat ini. Diharapkan pelemahan nilai tukar rupiah tak berimbas kepada kenaikan tarif dasar listrik.
“Itu karena pemerintah sudah berjanji bahwa tarif listrik tidak akan mengalami kenaikan hingga 2019,” tegas dia.
Bamsoet juga punya saran ke pemerintah untuk mengangkat kurs rupiah. Di mana, Kementerian Perdagangan (Kemendag) segera memberikan insentif ekspor.
“Tujuannya untuk mendapatkan surplus perdagangan serta mengurangi neraca keseimbangan primer negatif,” cetusnya.
Saran lainnya adalah dengan memacu kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam menarik investasi. BKPM harus proaktif melakukan hubungan kerja sama bilateral dan multilateral dengan negara-negara maju serta mengundang para pengusaha untuk dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
“Ini demi meningkatkan investasi,” pungkasnya.
Tonton Video Ini:
Tahan Pelemahan Rupiah, BI Harus Naikkan Suku Bunga
Tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih terjadi. Bahkan kemarin rupiah hampir menyentuh level 14.000 per dolar AS.
Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita memandang, pelemahan rupiah ini harus segera ditangani secara serius oleh Bank Indonesia (BI).
Menurutnya, BI tak bisa terus-terusan menggunakan cadangan devisa untuk menahan laju pelemahan rupiah.
"Saya kira Bank Indonesia harus sudah mulai mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan, melihat sentimen ke depan masih terus berlanjut," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (25/4/2018).
Ia melanjutkan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah biasanya juga besar saat memasuki kuartal II-2018. Penyebabnya adalah pembayaran kewajiban pemerintah ke luar negeri.
Baca Juga
Di luar itu, sentimen yang terus menekan rupiah adalah kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (The Fed).
Ia bercerita, biasanya pada kuartal pertama tekanan datang dari sisi transaksi berjalan (current account). Lalu pada kuartal II tekanan akan lebih besar lagi karena ada kewajiban pembayaran utang baik pemerintah maupun wasta.
Untuk itu, BI harus mulai menyiapkan strategi dari awal. "Jadi pelemahan rupiah ini masih belum selesai," ia menambahkan.
Hanya saja, kenaikan suku bunga acuan ini, BI harus mempertimbangkan kondisi domestik, seperti salah satunya inflasi.
"Kita lihat inflasi kuartal pertama dan kedua ini dulu, karena sekalipun tekanan dari luar tinggi, inflasi di dalam harus juga jadi patokan utama," pendapatnya.
Advertisement