Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir menembus 14.000 per dolar Amerika Serikat belum berdampak pada perusahaan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina telah melakukan mitigasi risiko terhadap fluktuasi valuta asing (valas) dengan melakukan lindung nilai (hedging).
Baca Juga
Advertisement
"Ya kan kita melakukan hedging juga untuk dolar, kita mitigasi risiko, kita lakukan itu juga," kata Nicke di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/4/2018).
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman menambahkan, dengan menerapkan lindung nilai, perusahaan belum mengalami gangguan keuangan akibat pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
"Menguatnya sudah hampir Rp 14.000 per dolar AS ya. Tapi kan kalau di kita bujet di Rp 13.400 per dolar AS. Sekarang Rp 13.700 per dolar AS. Kalau kita kan terus melakukan hedging ya. Sesuai dengan BI, saya lupa jumlahnya berapa tapi sementara ini sih kita masih okelah secara pengaruh dolar," paparnya.
Menurut Arief, Pertamina tidak memiliki rencana menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis avtur meski rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS.
"Enggak (tidak ada rencana menaikan harga Avtur)," tandasnya.
Masih Melemah
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat pada perdagangan hari ini setelah mengalami tekanan yang cukup dalam pada perdagangan beberapa hari sebelumnya.
Mengutip Bloomberg, Rabu (25/4/2018), rupiah dibuka di angka 13.881 per dolar AS, menguat tipis jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.889 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.880 per dolar AS hingga 14.917 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 2,49 persen.
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.888 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.900 per dolar AS.
Rupiah mampu kembali menguat karena adanya intervensi pasar dari Bank Sentral. Indonesia merupakan negara dengan portofolio kepemilikan asing pada surat utang dan saham yang tinggi.
"Imbal hasil obligasi AS yang tinggi berdampak negatif kepada negara berkembang karena terjadi arus keluar sehingga memang perlu dicegah," jelas ekonom Mizuho Bank, Takahiko Sasaki.
Advertisement