Utang Pemerintah RI Bengkak Akibat Pelemahan Rupiah, Masih Amankah?

Utang pemerintah Indonesia bengkak sebesar Rp 10,9 triliun karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Apakah masih aman?

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Apr 2018, 08:15 WIB
Utang Pemerintah (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku terjadi pembengkakan utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 10,9 triliun akibat pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir menembus 14.000 per dolar AS.

Dengan kenaikan kenaikan tersebut, total outstanding utang pemerintah saat ini menjadi sekitar Rp 4.147,29 triliun. Dibanding posisi per Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136,39 triliun.

Jika dihitung dengan asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia senilai Rp 13.891,15 triliun, maka utang pemerintah sebesar Rp 4.147,29 triliun setara dengan rasio 29,86 persen terhadap PDB.

Rasio utang tersebut naik dibanding realisasi per akhir Maret yang sebesar 29,78 persen dari PDB. Rasio utang 29,86 persen ini jika diamati masih di bawah ambang batas Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, yakni tidak melebihi 60 persen dari PDB.

"Ini (kenaikan stok utang pemerintah) masih aman," ujar Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan DJPPR Kemenkeu, Erwin Ginting, saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (26/4/2018).

Data dari Kemenkeu menunjukkan utang jatuh tempo Indonesia pada tahun ini sebesar Rp 384 triliun. Terdiri dari Rp 111 triliun dalam bentuk valuta asing (valas) dan rupiah senilai Rp 272 triliun.

Sementara dalam kurun waktu Januari-Maret 2018, pemerintah sudah membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 188 triliun. Rinciannya dalam valas senilai Rp 37 triliun dan Rp 151 triliun dalam denominasi rupiah. 

"Secara parsial di sisi pembayaran utang jatuh tempo akan ada sedikit kenaikan jika terjadi pelemahan," Erwin menerangkan.

Menurutnya, pembayaran utang oleh pemerintah menggunakan nilai tukar saat itu atau saat transaksi. Namun beban pemerintah dalam membayar utang bisa lebih ringan karena ada penerimaan dalam mata uang asing.

"Pemerintah kan punya penerimaan dari valas. Kalau ada penerimaan valas US$ 500 juta, secara pengelolaan kas pemerintah bisa dipakai untuk bayar utang US$ 500 juta. Ini yang namanya natural hedging (lindung nilai natural), sehingga rugi kurs bisa dikelola," kata Erwin.

Pemerintah melalui DJPPR Kemenkeu selalu memantau pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta mengambil langkah untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko kurs yang terekspose terhadap utang pemerintah.

Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, efek ke utang pemerintah akibat pelemahan rupiah membuat kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dalam bentuk valas akan membesar.

"Ruang fiskal akan semakin sempit, dalam jangka panjang defisit keseimbangan primer membengkak," katanya. 


Bengkak Rp 10,9 Triliun

Utang Indonesia demi pembangunan (Liputan6.com/Abdillah)

Nilai tukar rupiah sempat nyaris menyentuh 13.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Tekanan terhadap mata uang Garuda ini berdampak pada pembengkakan nilai outstanding utang pemerintah mencapai Rp 10,9 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total outstanding utang pemerintah sampai dengan Maret 2018 sebesar Rp 4.136,39 triliun. Dari jumlah itu, utang pemerintah dalam valuta asing (valas) sebesar USD 109 miliar.

Sementara itu, kurs rupiah masih bergejolak dan saat ini berada di posisi 13.888 per dolar AS, berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR.

Padahal di periode Maret, pemerintah menghitung total outstanding utang dengan kurs rupiah 13.750 per dolar AS. Itu artinya ada kenaikan signifikan yang berimbas pada jumlah utang pemerintah.

Jika ditelisik lebih dalam, patokan kurs rupiah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400 per dolar AS.

Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Erwin Ginting, menjelaskan, pelaporan posisi utang pemerintah RI di akhir periode tertentu menggunakan nilai tukar pada saat itu.

"Jadi untuk outstanding per akhir Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136 triliun dengan komponen utang valas USD 109 miliar, sudah menggunakan kurs sekitar Rp 13.750 per dolar AS," ujarnya kepada Liputan6.com pada 25 April 2018. 

Erwin mengungkapkan, apabila stok utang valas senilai USD 109 miliar dikonversi dengan penguatan dolar AS sebesar Rp 100, maka ada kenaikan atau pembengkakan utang sebesar Rp 10,9 triliun.

"Jadi, total stok utang naik Rp 10,9 triliun," tegasnya.

Jika dihitung dengan penambahan utang Rp 10,9 triliun akibat pelemahan rupiah, total outstanding utang pemerintah naik dari Rp 4.136,39 triliun menjadi Rp 4.147,29 triliun.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya