Liputan6.com, Kupang - Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam Punah (CITES) tidak melarang pengambilan muntahan paus (ambergris). Sebab, ambergris merupakan produk limbah paus yang terjadi secara alami.
"Menurut CITES, ambergris sebagai produk limbah paus yang terjadi secara alami, membuatnya legal untuk diambil oleh siapa pun," ucap pengamat Kelautan dan Perikanan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Chaterina A Paulus, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu, 25 April 2018, dilansir Antara.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan legalitas kepemilikan ambergris dan kasus penyitaan muntahan paus milik nelayan oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT, pekan lalu.
Baca Juga
Advertisement
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963.
Menurutnya, CITES menganggap substansi ambergris sebagai ekskresi seperti urine atau feses. Lantaran itulah, sebagai produk sampingan yang tidak berbahaya dan karenanya tidak perlu dicakup dalam Konvensi. Hal ini tercantum pada CoP16 Doc. 25 Annex 3. 1 - p. 2 Resolution Conf. 9.6 (Rev) Trade in Readily Recognizable Parts and Derivatives.
Di Amerika Serikat (AS) dan Australia, menurut Chaterina, terdapat pelarangan kepemilikan atau perdagangan. Di AS, paus sperma dilindungi UU Species Terancam Punah tahun 1973, melarang penggunaan produk apa pun dari spesies yang terancam punah.
Namun, ambergris dianggap sebagai sedikit "wilayah abu-abu', menjadi produk limbah dan dengan demikian mampu "diselamatkan" tanpa perlu merusak paus. Sementara di Australia, ambergris dianggap produk paus dan karenanya ekspor dan impor diatur berdasarkan bagian 13A UU Perlindungan Lingkungan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Tahun 1999.
Jadi, imbuh Chaterina, muntahan paus yang disita dari tangan seorang nelayan itu sebenarnya tidak dibenarkan. Sebab, CITES tidak melarang pengambilan muntahan paus tersebut.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Balai Konservasi Limpahkan Kasus Muntahan Paus
Sebelumnya, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur (NTT) Tamen Sitorus mengatakan kasus muntahan paus atau ambergris sudah diserahkan kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kelautan (LHK) Wilayah Jawa Bali Nusra Tenggara.
"Masalah ini sudah kami limpahkan berkas dan barang bukti ke Balai Gakkum, pada 13 April lalu," ucap Tamen, di Kupang, Selasa, 24 April 2018, diwartakan Antara.
Dia mengemukakan hal itu untuk menjawab pertanyaan terkait kasus penyitaan muntahan paus yang dilakukan petugas BBKSDA NTT pada 7 April lalu, dan dasar hukumnya.
"Hasil berupa penyelidikan awal sudah diserahkan kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Jawa Bali Nusra Tenggara dan nantinya dari Gakkum yang akan menyelesaikan masalah ini," katanya.
Dia juga menyarankan agar wartawan menghubungi Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Jawa Bali Nusra Tenggara yang saat ini sedang menangani kasus muntahan paus.
Advertisement
Nelayan Kupang Minta Muntahan Paus Dikembalikan
Beberapa hari lalu, pemilik bongkahan ambergis atau muntahan paus sperma, Marsel Lupung dari Desa Sulamu, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, NTT, menginginkan barang temuannya itu dikembalikan kepadanya.
"Saya ingin supaya barang temuan saya itu dikembalikan, bukan disita oleh pihak BBKSDA NTT, karena barang itu adalah milik saya," katanya saat dihubungi dari Kupang, Selasa, 24 April 2018, dilansir Antara.
Pada 7 April 2018 lalu, sejumlah petugas Bandara El Tari Kupang menggagalkan pengiriman bongkahan muntahan paus karena dinilai mengeksploitasi satwa yang dilindungi undang-undang.
Atas hal itu, Marsel mengaku menyesal dengan apa yang diperbuatnya. Satu hal yang ia inginkan adalah agar pihak BBKSDA mengembalikan barang temuannya itu tanpa harus diproses hukum.
Marsel juga mengaku bahwa ia memang tahu bahwa ada undang-undang yang melarang perburuan paus. Namun, ia tidak mengetahui pengambilan muntahan paus juga bagian dari hal yang melanggar undang-undang.
"Saya justru tidak tahu yang saya temukan itu adalah bongkahan muntahan paus. Jadi, saya ambil dan saya kirim ke Bali," ujarnya lagi.