Kadin: Tak Semua Pengusaha Dirugikan Pelemahan Rupiah

Bagi pengusaha, yang terpenting adalah kestabilan nilai tukar rupiah.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 26 Apr 2018, 17:45 WIB
Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan kondisi nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Bahkan nlai tukar yang saat ini di kisaran 13.900 per dolar AS di luar fundamentalnya.

Namun, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, pelemahan niai tukar rupiah tidak membuat semua pengusaha merasa rugi. Beberapa pebisnis di sektor tambang, justru mengalami keuntungan.

"Kalau pengusaha tambang, seperti batu bara misalnya, dia senang, karena operasional pakai rupiah jual pakai dolar. Tapi kalau pengusaha kimia, farmasi, makanan dan minuman, pusing," ucap Rosan di Graha Niaga, Kamis (26/4/2018).

Sebenarnya, bagi pengusaha, yang terpenting adalah kestabilan nilai tukar rupiah. Karena jika terlalu fluktuatif, pengusaha tidak bisa memperkirakan rencana bisnisnya.

Memang industri di Indonesia saat ini masih mengandalkan impor untuk mendapatkan bahan baku. Dengan rupiah yang melemah, otomatis biaya bahan baku akan semakin meningkat.

"Ya secara rerata inginnya 13.500-13.800 per dolar AS lah. Tapi kalau di level begini sih akan susah kembali ke 13.500 per dolar AS akan berat," tegasnya. 


Rupiah Tersungkur, Sri Mulyani Minta Masyarakat Tenang

Petugas menunjukkan uang kertas rupiah di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat Indonesia untuk tenang menghadapi gejolak nilai tukar rupiah. Kurs mata uang Garuda hari ini melemah ke posisi 13.930 per dolar AS.

"Dalam hal ini (penguatan dolar AS), masyarakat diharapkan tenang karena pergerakan ini berasal dari AS dan pengaruhnya ke mata uang dunia," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/4/2018).

Sri Mulyani menjelaskan, pelemahan rupiah lebih kecil atau relatif sama dibanding mata uang negara maju dan emerging lain yang mencapai lebih dari dua persen.

"Dalam dua hari terakhir, dibanding mata uang negara maju dan emerging, rupiah masih pada kisaran yang relatif sama atau lebih baik sedikit," ujarnya.

"Beberapa mata uang negara maju terdepresiasi di atas dua persen. Mata uang di kawasan kita (ASEAN) pun di atas itu. Bahkan, India terdepresiasi lebih dalam karena ingin memacu ekspor," Sri Mulyani menambahkan.

Lebih jauh dia mengungkapkan, penyebab kurs rupiah melemah lebih banyak dipengaruhi kebijakan ekonomi dari pemerintah AS seiring dengan perbaikan data ketenagakerjaan dan inflasi di Negeri Paman Sam.

"Perekonomian AS, baik data employment maupun inflasi menunjukkan suatu recovery. Perubahan kebijakan fiskal, seperti pajak dan perdagangan, sehingga AS akan melakukan berbagai kebijakan meng-adjust," paparnya.

Selain itu, ucapnya, The Fed juga akan menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate sebanyak tiga sampai empat kali di 2018. Namun demikian, diakui Sri Mulyani, The Fed akan mengerek suku bunga acuan secara hati-hati.

"Adanya outlook kebijakan AS, kebijakan fiskal, seperti penurunan pajak dan tambahan belanja akan meningkatkan defisit mereka, sehingga kita sudah akan memprediksi terjadi kenaikan treasury (imbal hasil obligasi) tenor 10 tahun," jelas Sri Mulyani.

Menurut dia, kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan AS akan sangat mempengaruhi dunia, termasuk berdampak ke nilai tukar mata uang rupiah maupun negara lain. Pasalnya AS merupakan negara terbesar di dunia.

"Tapi kita akan antisipasi dalam konteks pergerakan kebijakan (AS) ini terhadap mata uang dolar AS dan suku bunga mereka. Kita akan lihat kebijakan makro di Indonesia," pungkas Sri Mulyani.

Tonton Video Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya