Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah akhir-akhir ini. Mengutip Bloomberg, pada hari ini, rupiah dibuka di angka 13.919 per dolar AS.
Bank Indonesia (BI) memandang, depresiasi rupiah yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan penguatan mata uang AS terhadap hampir semua mata uang dunia (broad based). Penguatan dolar AS merupakan dampak dari berlanjutnya kenaikan imbal hasil (yield) suku bunga obligasi negara AS hingga mencapai 3,03 persen, tertinggi sejak 2013.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, depresiasi rupiah juga terkait faktor musiman permintan valas yang meningkat pada kuartal II antara lain untuk keperluan pembayaran utang luar negeri dan pembiayaan impor, serta dividen.
"Fundamental ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang kuat," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo dalam keterangannya, Kamis (26/4/2018).
Inflasi, dikatakan masih sesuai dengan kisaran 3,5+1 persen, defisit transaksi berjalan lebih rendah dari batas aman 3 persen PDB, momentum pertumbuhan ekonomi berlanjut diikuti oleh struktur pertumbuhan yang lebih baik, dan stabilitas sistem keuangan yang tetap kuat.
Kepercayaan asing juga terus membaik yang tercermin pada upgrade rating Indonesia oleh Moody’s, JCRA, dan R&I serta dimasukkannya obligasi negara ke dalam Bloomberg Global Bond Index.
"Sampai dengan hari Rabu tanggal 25 April 2018, tekanan masih berlanjut. Rupiah pada tanggal 25 April 2018 terdepresiasi sebesar -0,23 persen atau -1,09 persen (mtd)," dia menambahkan.
Depresiasi rupiah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara Asia lain termasuk Thailand THB (-1,14 persen, mtd), Malaysia MYR (-1,23 persen, mtd), Singapore SGD (-1,24 persen, mtd), Korea Selatan KRW (-1,58 persen, mtd), dan India INR (-2,57 persen, mtd).
"Dengan memperhatikan perkembangan tersebut, Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah stabilisasi baik di pasar valas maupun pasar SBN (dual intervention) untuk meminimalkan depresiasi yang terlalu cepat dan berlebihan," jelas dia.
Adapun langkah BI memperkuat upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya dengan tetap mendorong mekanisme pasar, yakni senantiasa berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valas maupun rupiah.
Kemudian memantau dengan saksama perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik
Mempersiapkan 2nd line of defense bersama dengan institusi eksternal terkait. Apabila tekanan terhadap nilai tukar terus berlanjut serta berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan menganggu stabilitas sistem keuangan, yang merupakan mandat Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga kebijakan BI7DRR.
"Kebijakan ini tentunya akan dilakukan secara berhati-hati, terukur, dan bersifat data dependence, mengacu pada perkembangan data terkini maupun perkiraan ke depan.
Rupiah Kembali Melemah, Sentuh 13.940 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Kamis pekan ini. Ada banyak alasan yang membuat dolar AS terus menguat sepanjang pekan ini.
Mengutip Bloomberg, Kamis (26/4/2018), rupiah dibuka di angka 13.919 per dolar AS, menguat jika dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.921 per dolar AS.
Namun, sesaat kemudian rupiah kembali melemah bahkan sempat menyentuh level 13.940 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, pelemahan rupiah mencapai 2,74 persen.
Baca Juga
Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.930 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.888 per dolar AS.
Dolar AS memang terus menguat di kawasan Asia karena kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS yang menembus angka 3 persen pada pekan ini. Angka tersebut pertama kalinya dalam tahun ini.
Kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS ini karena adanya kekhawatiran mengenai peningkatan pasokan utang pemerintah AS dan tekanan inflasi dari kenaikan harga minyak.
Selain itu, rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) juga menjadi alasan dolar AS menguat cukup tajam pada pekan ini.
"Kecuali ada kehancuran di pasar saham AS, dan tidak mungkin itu terjadi, sangat diragukan Bank Sentral AS tidak akan menaikkan suku bunga," jelas analis Oanda Singapura, Stephen Innes.
Tonton Video Ini:
Advertisement