Siregol, Rumah Aman bagi Owa dan Elang Jawa yang Terancam

Siregol saat ini masih berstatus hutan lindung di bawah pengelolaan Perhutani Banyumas Timur, padahal mereka perlu menjadi kawasan konservasi untuk melindungi satwa langka.

oleh Galoeh Widura diperbarui 27 Apr 2018, 16:02 WIB
Siregol saat ini masih berstatus hutan lindung di bawah pengelolaan Perhutani Banyumas Timur, padahal mereka perlu menjadi kawasan konservasi untuk melindungi satwa langka. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Liputan6.com, Purbalingga – Sekitar 32 kilometer arah timur laut pusat Kota Purbalingga, Jawa Tengah, kerap terlihat elang jawa (Nisaetus bartelsii) mengepak kabut. Sesekali sayapnya membentang diam, kepala menunduk, mata tajamnya mengawasi gerak-gerik mencurigakan di daratan.

Terekam di penglihatannya tebing-tebing curam tinggi menjulang. Tebing itu berperan sebagai benteng belantara hutan heterogen. Jauh di dasar tebing, sungai-sungai hulu berkelok mengikuti topografi perbukitan Zona Serayu Utara dari Dieng, Banjarnegara, hingga kaki Gunung Slamet, Purbalingga.

Elang itu menukik tajam, menyambar burung kecil yang tengah melintas. Dibawanya burung itu ke dahan pohon Rasamala, pohon tertinggi yang biasa tumbuh di kawasan hutan.

Selain elang, owa jawa (Hylobates moloch) yang masuk kategori kritis juga tinggal bersama di Perbukitan Siregol barat jalan Desa Kramat–Sirau, Kecamatan Karangmoncol.

Tak jauh dari sana, kawanan lutung jawa (Trachypitechus auratus) dan Surili (Presbytis comata) menunggu waktu untuk turun ke Sungai Tambra. Sesekali mereka naik ke pinggir jalan raya, bahkan kerap juga menyeberang ke bukit sisi timur jalan.

Ya, habitat satwa itu benar-benar berada sekitar 200 meter dari tepi jalan. Beruntung bagi mereka, jurang Sungai Tambra dan tebing-tebing tinggi membatasi gerak manusia merambah hutan.

Hutan heterogen perbukitan Siregol haruslah dijaga, tidak ada perburuan dan deforestasi. Owa membutuhkan lahan jelajah yang luas, sehingga fragmentasi habitat yang mengancam kelestariannya juga harus dihindari.

Bertahun-tahun hanya mengandalkan perlindungan alami, pada 2016 masyarakat desa Kramat dan pencinta alam mulai bergerak. Digawangi Muhammad Faiz dan Perhimpunan Pegiat Alam Ganesha Muda (PPA Gasda) mereka secara konsisten menyerukan konservasi Perbukitan Siregol.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 

 

 

 

 


Pejuang Surga Satwa

Siregol saat ini masih berstatus hutan lindung di bawah pengelolaan Perhutani Banyumas Timur, padahal mereka perlu menjadi kawasan konservasi untuk melindungi satwa langka. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Faiz, ayah dua anak itu kini lumayan terkenal. Wajahnya pada April 2018, kerap terlihat di layar SCTV. Aji Wisnu Santosa dan kawan-kawannya dari Jas-jes Cinema-lah yang mengirimkan video dokumenter kiprah Faiz dengan judul "Pejuang Surga Satwa yang Terabaikan" untuk bersaing di Liputan6 Awards 2018, Local Heroes Competition.

Video berdurasi 3 menit 52 detik itu merekam adegan demi adegan tentang pemuda yang mengabdikan dirinya berjuang mendirikan wilayah konservasi. Pukul 05.30 WIB, Faiz dan pemuda lain berangkat ke lokasi pengamatan.

Dengan kamera seadanya, mereka mendapatkan beragam foto dan video dari ratusan satwa langka dilindungi. Perilaku sehari-hari, jenis, jumlah satwa, dan identifikasi pakan alami juga tak luput dicatat.

"Hampir setiap hari kami melakukan pengamatan satwa. Selain itu, dilakukan pembersihan sampah di area konservasi dan patroli perburuan liar," ujarnya, Rabu, 25 April 2018.

Dari pengamatan Faiz, di sana terdapat owa jawa (Hylobates moloch), lutung jawa (Trachypitechus auratus), elang jawa (Nisaetus bartelsii), surili (Presbytis comata), binturong (Arctictis binturong), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Selanjutnya, masih dijumpai julang emas (Rhyticeros undulatus), kukang jawa (Nycticebus javanicus), bajing jelarang (Ratufa bicolor), bubut besar (Centropus sinensis), dan beraneka ragam kupu-kupu serta capung. Bahkan, ditengarai masih ada macan kumbang (Panthera pardus) di kawasan tersebut.

"Beberapa tahun yang lalu, warga masih sering menjumpai macan, tapi sekarang belum terdengar lagi kabar itu," katanya.

Khusus untuk owa jawa, dia telah memetakan berapa keluarga owa yang tinggal di Siregol, peta teritori, luas jelajah, dan kerapatan habitatnya. Karena perbukitan dipenuhi tebing curam, metode line transect muskil dilakukan.

Sebagai gantinya, Faiz menggunakan metode survei Vocal Count, yakni menentukan jumlah kerapatan dengan rumus trigonometri melalui suara owa. Dia mempelajari metode survei primata, dari seminar yang diselenggarakan oleh Swara Owa di Sokokembang, Pekalongan.

"Berdasar Vocal Count, kerapatan grup owa jawa pada Maret 2018 terbanyak 9,2 grup per kilometer persegi," katanya.

Sementara, saat observasi langsung dari titik pengataman jalan Kramat-Sirau terdapat 31 kelompok owa jawa dengan masing-masing keluarga 3-5 ekor. Faiz melihat banyak keluarga lain dalam jarak pandang 800-1.000 meter, tetapi terbentur dengan peralatan yang kurang memadai.


Upaya Peningkatan Status Siregol

Siregol saat ini masih berstatus hutan lindung di bawah pengelolaan Perhutani Banyumas Timur, padahal mereka perlu menjadi kawasan konservasi untuk melindungi satwa langka. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Perbukitan Siregol merupakan area hutan lindung pangkuan Resort Pemangku Hutan Picung, Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Timur seluas 2.466 hektare. Kawasan tersebut berbatasan langsung dengan Desa Kramat, Desa Sirau, Kecamatan Karangmoncol dan Desa Langkap, Kecamatan Kertanegara.

Keunikan Siregol dengan owa jawa sebagai maskotnya telah menarik minat lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan pegiat lingkungan untuk meneliti lebih jauh. PPA Gasda secara khusus mengedukasi dan mendampingi masyarakat di sekitar hutan sejak dua tahun lalu.

"Kami tidak ingin fungsi konservasi dari kawasan tersebut berkurang atau bahkan hilang," ujar Ketua Harian PPA Gasda Taufik Katamso.

Salah satu kegiatan yang pernah diselenggarakan adalah Siregol Primate Watching, dengan kegiatan Pengamatan bersama dan diskusi pada 25-26 November 2017. Kegiatan tersebut dihadiri sejumlah pihak termasuk BKSDA Jateng, Biodiversity Society, Bird Watching, Bioexplorer Unsoed, Perhutani KPH Banyumas Timur, Swara Owa, dan KP3 Primata Fakultas Kehutanan UGM.

"Peserta sekitar 45 orang. Dari sana, dukungan untuk menetapkan Siregol sebagai kawasan konservasi mengalir deras," kata Taufik yang juga Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana.

Beberapa waktu setelah pertemuan, Pemdes bersama masyarakat menetapkan peraturan yang memuat pelarangan berburu, memasuki hutan, dan membuang sampah di kawasan konservasi. Mereka berharap peraturan itu juga diterapkan desa-desa lain di sekitar Siregol.

Alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Gunanto Eko Saputro mengatakan, kawasan Siregol merupakan benteng terakhir hutan yang masih alami di Kabupaten Purbalingga. Mutiara hijau itu perlu segera ditetapkan sebagai kawasan konservasi, bentuknya bisa dengan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Saat ini, PPA Gasda, LMDH dan Podarwis Desa Kramat tengah melakukan kajian akademik keragaman hayati, kondisi biofisik, dan rencana konservasi kawasan Siregol. Kajian itu nantinya sebagai langkah awal pengusulan KEE kepada Pemkab Purbalingga, Perum Perhutani, dan Kementerian Kehutanan.

"Hutan di koridor Siregol memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa langka dilindungi, sehingga perlu dipayungi regulasi yang lebih ketat," ujarnya yang juga angota PPA Gasda.


Sigotak, Narasi Konservasi

Siregol saat ini masih berstatus hutan lindung di bawah pengelolaan Perhutani Banyumas Timur, padahal mereka perlu menjadi kawasan konservasi untuk melindungi satwa langka. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Salah satu pihak yang memberi saran dan turut mewarnai arah perkembangan Siregol ialah Irwan Fakhruddin, dosen di Program KKI Komunikasi FISIP UI sekaligus creative director di Probindo. Beberapa kali, dia dan keluarganya menjajaki Desa Kramat untuk mencari jalan terbaik pengembangan wisata.

Berkali-kali mengamati dan berdiskusi dengan warga Desa Kramat dan PPA Gasda, tagline terbaik diambil ”Sigotak, Narasi Konservasi”. Sigotak diambil dari nama dua bukit, yakni Siregol dan Argo Botak yang menjadi pusat koloni satwa-satwa langka itu.

"Narasi konservasi adalah cara pandang, tekad dan ajakan tiada henti untuk merasakan pengalaman memberi dan menerima dari alam," ujarnya yang juga konsultan Branding Wonderful Indonesia.

Menurutnya, warga keramat sudah memiliki pandangan jauh ke depan. Mereka tidak serta-merta gagap mendirikan wisata artifisial di desa yang hanya menjadikan lanskap Siregol sebagai latar foto.

Dalam pandangannya, di Purbalingga banyak desa wisata kehilangan karakter karena bertujuan menarik massa sebanyak mungkin. Padahal, para pelancong tidak ingin hanya sekadar swafoto, tapi juga merasakan pengalaman batin yang akan terus dikenang.

Wisatawan bisa merasakan menginap di rumah warga, merasakan kehidupan khas desa dengan bertani, memasak gula kelapa, membuat ketupat, menyantap masakan lokal dan belajar kesenian khas lokal. Tentu saja, kegiatan pengamatan satwa, dan konservasi menjadi tajuk utama wisata Desa Kramat.

"Seperti anak saya, dia tahu pandai besi dari YouTube. Tetapi dengan langsung ke pandai besi, dia merasakan pengalaman batin yang nantinya bisa diceritakan ke teman-temannya," ujarnya.

Kades Kramat, Suwarso mengatakan, meski berlandaskan wisata minat khusus, tetapi jika pengamatan dilakukan sampai tiga hari, masyarakat bisa mendulang rupiah melalui penginapan dan makanan, kemudian wisata budaya, sosial, dan ekonomi.

Peran penting warga di wisata tersebut ialah bagaimana wisatawan betah berlama-lama di Desa Kramat. Kesemua hal itu perlu ditempuh, sebab berkaca dari grafik wisata mass tourism yang berbasis selfie deck polanya seperti gunung, naik memuncak kemudian terjun bebas.

"Tetapi untuk wisata konservasi, grafiknya terus naik," katanya.

Dengan penerapan narasi konservasi nantinya, dia berharap Desa Kramat mendapatkan kemajuan yang berlandaskan karakter asli dan kearifan lokal. Majunya desa, menurut dia, tidak sebatas infrastruktur, tetapi majunya peradaban dengan akhlak baik yang memanusiakan manusia dan memuliakan alam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya