Liputan6.com, Banjarnegara - Gempa yang mengguncang wilayah Kalibening, Banjarnegara, Jawa Tengah, meluluhlantakkan ratusan rumah di tiga desa. Penghuni rumah pun terpaksa meninggalkan harta benda dan tinggal di posko untuk pengungsi gempa Banjarnegara.
Total, sebanyak 316 rumah rusak di tiga desa, yakni Kasinoman, Kertosari, dan Plorengan. Di luar itu, ada tiga masjid, satu musala, dan satu gedung sekolah yang rusak.
Sebagian warga tinggal di fasilitas umum, seperti balai desa atau gedung sekolah. Sebagian lainnya tinggal di tenda-tenda pengungsian. Ada pula yang ditampung oleh saudara atau tetangga yang rumahnya tak terdampak gempa.
Baca Juga
Advertisement
Para pengungsi gempa tercerabut dari kenyamanan rumahnya. Mereka meski bertahan di dinginnya malam dengan alas tidur yang langsung menempel di lantai atau bahkan tanah.
Bangunan pengungsian yang terbuka membuat angin dengan leluasa menyapu ke segala penjuru ruangan. Tak aneh jika ratusan pengungsi banyak yang terserang infeksi saluran pernapasan (ISPA).
Kondisi tak nyaman juga dirasakan oleh para pengungsi yang kehilangan ruang-ruang privat. Ribuan pengungsi gempa Banjarnegara, mesti tidur berdesakan dengan orang lain di luar keluarga yang sama-sama menjadi korban.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penyakit Paling Banyak Diderita Pengungsi
Pada Selasa, 24 April 2018, tim kesehatan menangani 561 pasien pengungsi gempa Banjarnegara. Penyakit yang paling banyak diderita adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), yakni sebanyak 126 orang.
Penderita hipertensi juga tak kalah banyak jumlahnya, sebanyak 108 orang. Diduga, faktor trauma dan kondisi pengungsian yang jelas tak nyaman membuat tekanan darah pengungsi naik drastis.
Pengungsi gempa juga banyak mengeluhkan mialgia atau nyeri otot sebanyak 73 orang. Selain itu, para pengungsi banyak menderita sakit kepala (cephalgia) sebanyak 42 orang.
Koordinator Lapangan Penanganan Korban Bencana Kalibening Bidang Kesehatan, Ristiyono menduga, kondisi tempat tinggal yang kurang layak serta mental yang masih terguncang akibat trauma gempa memicu timbulnya penyakit itu.
Sebab itu, tim medis intensif memeriksa kondisi kesehatan para pengungsi. Selama 24 jam per hari, mereka melayani keluhan berbagai penyakit para pengungsi.
Hasilnya, keluhan yang diderita pengungsi jauh menurun. Pada Jumat, 27 April 2018, pasien yang dilayani berjumlah 229 orang, atau lebih dari separuh menurun dibanding awal pekan.
Rinciannya, ISPA 85, malgia 39, hipertensi 24, chepalgia tujuh orang, faringitis enam orang, conjunctivitis enam orang, gastritis enam orang, diare enam orang, scabies enam orang, dan pasien dengan layanan medis lainnya, sebanyak 59 orang.
"Setelah menerima penanganan medis, kondisi kesehatan para pengungsi ini berangsur membaik," dia menerangkan, Sabtu, 28 April 2018.
Advertisement
Terapi Trauma Pasca-Gempa
Ristiyono mengemukakan, penyakit yang dikeluhkan pengungsi berhubungan dengan pola hidup mereka selama di pengungsian. Korban gempa rentan terkena serangan ISPA karena tinggal di tempat yang kurang layak.
Tidur di atas tikar atau kasur yang langsung bersentuhan dengan tanah juga bisa memicu penyakit itu. Tingkat stres yang tinggi juga memicu munculnya penyakit.
Sebab itu, tim medis berencana melakukan terapi trauma usai bencana (trauma healing) kepada para korban gempa. Pasalnya, trauma dirasakan nyaris oleh seluruh golongan usia. Itu, termasuk anak-anak yang juga turut mengungsi.
Tim kesehatan juga melakukan aksi preventif munculnya beragam penyakit menular dengan cara menyemprot cairan repelent atau penolak serangga dan lalat dan isektisida di seluruh posko pengungsian.
Dia pun menganjurkan agar pengungsi untuk memulai hidup sehat, kendati tinggal di pengungsian.
"Bisa dengan olahraga, hiburan menonton televisi, agar pikiran teralihkan," dia menjelaskan.