Liputan6.com, Moskow - Perusahaan manufaktur pertahanan Rusia, Automatica Concern, telah mengumumkan bahwa tiga senjata elektromagnetik baru akan diuji di Suriah.
Senjata baru ini dibagi menjadi versi kecil, sedang, dan besar, tergantung pada jenis target, dengan fokus utama pada pesawat tak berawak atau drone yang memenuhi langit Suriah. Demikian seperti dikutip dari media terafiliasi pemerintah Rusia, RBTH Indonesia (1/5/2018).
Salah satu senjata terkecil yang bernama Pishchal, merupakan senapan elektromagnetik portabel yang dirancang untuk melumpuhkan sinyal Wi-Fi dan GPS yang berasal dari drone untuk mengintai.
Senjata itu mampu merontokkan musuh di jarak hingga setengah kilometer, menggagalkan unit-unit mesin dengan sepenuhnya menghalangi pandangan mereka.
Rincian sisanya masih rahasia dan akan diresmikan selama pameran militer Army-2018 di Moskow pada Agustus ini, setelah uji pertempuran selesai dan hasil sudah diketahui.
Baca Juga
Advertisement
Namun, diketahui bahwa Pishchal sama dengan senjata elektromagnetik REX-1 Kalashnikov yang baru. Prinsip bekerja mereka sama karena mereka menekan saluran komando dan kontrol dari drone yang paling sering ditemui di dunia seperti GSM, GPS, GLONASS, dan Galileo.
Drone akan bereaksi berbeda jika terkena tembakan senapan elektromagnetik tersebut. Tergantung pada modelnya, setiap drone punya dua mode jika mengalami kendala komunikasi atau hilang kontak dengan operator: antara kembali ke titik awal atau mendarat secara otomatis.
Rusia juga mengklaim telah menyiapkan dua senjata elektromagnetik berukuran medium dan besar, serta cukup kuat untuk menghadapi semua jenis drone, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar -- seperti produk Amerika Serikat MQ-1 Predator atau MQ-9 Reaper.
Moskow mengklaim bahwa senjata-senjata elektromagnetik itu akan dipasang di Suriah demi memerangi drone yang dioperasikan kelompok teroris seperti ISIS. Namun, pesawat tak berawak Amerika Serikat turut beroperasi di kawasan yang sama.
Di sisi lain, Washington telah menuduh bahwa eksistensi persenjataan milik Moskow itu mengancam keselamatan operasi aviasi militer AS di Suriah utara -- di mana mereka membantu kelompok milisi Kurdi lokal untuk memerangi teroris.
Amerika Serikat juga mengimbau bahwa senjata elektromagnetik tersebut, jika dioperasikan secara tidak bertanggungjawab, akan semakin meningkatkan tensi militer tinggi dengan Rusia -- yang mana kedua negara merupakan aktor proxy conflict utama di negara yang tengah dilanda perang saudara menahun itu.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Pejabat AS: Rusia Telah Temukan Cara untuk Ganggu Drone Kami
Kabar itu muncul beberapa pekan usai empat pejabat militer AS mengklaim bahwa Angkatan Bersenjata Rusia telah berhasil mengganggu sinyal penerbangan (jamming) sejumlah pesawat nirawak atau drone militer Amerika Serikat yang beroperasi di Suriah.
Tindakan yang dilakukan oleh Rusia, menurut keempat pejabat itu, berdampak signifikan bagi keberlangsungan operasi aviasi militer AS di negara beribu kota Damaskus tersebut. Demikian seperti dikutip dari NBC News 11 April 2018.
Seorang pejabat Kementerian Pertahanan AS (Pentagon) mengatakan, meski jamming itu tak menyebabkan drone terjatuh, hal tersebut sangat mengganggu dari segi keamanan operasi.
"Oleh karenanya, Militer AS tengah melakukan penanggulangan dan perlindungan yang cukup untuk memastikan keselamatan pesawat berawak dan nirawak, serta pasukan kami dan misi yang mereka dukung," kata Eric Pahon, Juru Bicara Pentagon.
Seorang pejabat lain juga menegaskan betapa jamming tersebut memberikan dampak operasional pada operasi militer AS di Suriah.
Sedangkan pejabat anonim lainnya mengatakan, peralatan yang digunakan dan dikembangkan oleh militer Rusia tergolong sangat canggih, efektif, dan mampu menerobos sinyal terenkripsi dan sistem anti-jamming pada drone Amerika Serikat.
Drone AS yang berdampak sejauh ini adalah pesawat pengintai nontempur berukuran kecil, ketimbang MQ-1 Predator dan MQ-9 Reaper yang berukuran lebih besar dan dapat dipersenjatai serta kerap dikerahkan dalam pertempuran.
Advertisement