Pengusaha: Tuntut Upah Naik Saat Hari Buruh Tak Sesuai Zaman

Pengusaha juga berharap aksi buruh peringati May Day berlangsung aman dan kondusif sehingga tingkatkan kepercayaan investor.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Mei 2018, 09:30 WIB
Ratusan buruh berteriak membawa spanduk saat melakukan aksi menuju Istana Negara, Jakarta (31/10). Buruh meminpemerintah mencabut PP Nomor 78 soal pengupahan yang dinilai tidak memperhatikan kesejahteraan para buruh. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Peringatan Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day selalu diwarnai dengan aksi turun ke jalan atau berunjuk rasa menuntut upahlayak maupun kenaikan upah. Hal itu dinilai sudah tidak relevan di erarevolusi industri 4.0 atau digitalisasi ekonomi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani berpendapat dunia sudah berubah dengan adanya digitalisasi ekonomi maupun revolusi industri 4.0. Jika buruh masih saja menekan pemerintah dan pengusaha terkait upah, tuntutan itu dianggap tidak relevan lagi di zaman now.

"Tuntutannya sudah tidak relevan, masih begitu-begitu saja. Padahal dunia sudah berubah. Sekarang ini bukan bicara kesejahteraan, tapi bagaimana kita masih bisa ngasih pekerjaan di tengah gelombang digitalisasi ekonomi," tegas dia saat berbincang dengan Liputan6.com,Jakarta, Selasa (1/5/2018).

Hariyadi mengatakan, saat ini terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)secara sistematis. Banyak pekerjaan yang tergantikan oleh aplikasi atau sistem canggih, sehingga mengurangi tenaga kerja atau buruh.

"Sekarang justru saatnya buruh duduk bareng pengusaha dan pemerintah memikirkan masa depan kita, karena pekerjaan makin lama makin fleksibel dan buat perusahaan, perubahan ini menjadi tantangan berat yang harus dihadapi," ujar dia.

 


May Day, Harusnya Jawab Tantangan Digitalisasi Ekonomi

Aksi massa buruh berkostum cosplay super hero ketika unjuk rasa di depan Balai Kota, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya, buruh menuntut kenaikan upah mininum Rp 650ribu dan penghapusan Tax Amnesty. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Terpisah, Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengungkapkan hal yang senada. Dia menyarankan agarburuh tidak selalu rutin menuntut kenaikan upah atau pencabutan aturan pengupahan.

Momentum May Day, kata dia, seharusnya menjadi ajang bagi buruh,perusahaan, dan pemerintah untuk menjawab peningkatan produktivitas buruh di saat era digitalisasi ekonomi.

"Harapan kami jangan melulu setiap May Day yang diperjuangkan upah layak, PP 78 (Pengupahan) dicabut, dan lainnya. Harusnya di May Day,kita bisa menjawab tantangan di era digitalisasi ekonomi," terang Sarman.

Perkembangan teknologi saat ini, sambungnya, akan menenggelamkan sektor-sektor yang biasa dikerjakan oleh manusia. Mesin yang mengambilalih tenaga manusia, sehingga pengangguran berpotensi meningkat.

"Banyak sektor yang dipegang manusia diambil alih mesin. Jalan tol contohnya, sekarang tidak ada petugas tol karena elektronisasi di jalan bebas hambatan. Apalagi ada transaksi pembayaran nontunai,lowongan kerja diambil mesin, dan bisa jadi industri lain juga kena," kata Sarman.

Menurut dia, buruh zaman now harus terus meningkatkan keahlian dan keterampilan atau kompetensi mereka. Dengan demikian, bisa menjawab tantangan era revolusi industri 4.0 dan digitalisasi ekonomi.

"Tidak lagi monoton tuntut upah layak, tapi perbaiki skill kompetensi buruh. Kalau kompetensi meningkat, otomatis gaji sesuai skill kita," kata dia.

Sarman berharap, aksi buruh dalam memperingati May Day berlangsung dengan damai dan kondusif, dapat meningkatkan kepercayaan investor dan akhirnya mau masuk ke Indonesia.

"Hari May Day juga tidak harus turun ke jalan. Bisa dirayakan di masing-masing pabrik, seperti olahraga, berbagai perlombaan dan paling penting diskusi bersama pemerintah dan pengusaha," ujar Sarman.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya