Liputan6.com, Tehran - Kepala Badan Energi Atom Iran mengatakan bahwa negaranya akan kembali melakukan serta meningkatkan pengayaan uranium (enriched uranium) yang lazim sebagai bahan baku senjata nuklir, jika Amerika Serikat mengundurkan diri dari Kesepakatan Nuklir Iran atau JCPOA.
"Kami tak sekadar menggertak ... Secara teknis, kami siap untuk melakukan pengayaan uranium lagi, bahkan hingga ke level kualitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebelum Iran menyetujui kesepakatan (JCPOA) itu," kata Ali Akbar Salehi, Kepala Badan Energi Atom Iran, seperti dilansir The Jerusalem Post, Selasa (2/5/2018).
"Oleh karena itu, kami berharap agar (Presiden Amerika Serikat) Donald Trump tetap berpikir waras dan tetap bertahan dalam kesepakatan (JCPOA)," kata Salehi.
Komentar itu datang di tengah tensi seputar rencana Presiden Donald Trump yang hendak menarik AS keluar dari pakta Kesepakatan Nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
JCPOA atau "Iran nuclear deal" merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.
Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penanda tangan.
Setiap 90 hari, para anggota JCPOA wajib memberikan "sertifikasi kepatuhan" terhadap Iran. Tenggat waktu terdekat adalah pada 12 Mei 2018.
Sebagian besar negara anggota telah memberikan sertifikasi itu. Namun, AS belum melakukannya.
Baca Juga
Advertisement
Presiden ke-45 AS itu menganggap bahwa pakta tersebut "tak adil" dan "tak bisa diterima". Ia juga memandang skeptis kalau Iran benar-benar menanggalkan program pengembangan senjata nuklirnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga menegaskan hal serupa, kecuali jika JCPOA direvisi kembali sesuai dengan keinginan Washington.
"Berkenaan dengan JCPOA, Presiden Trump telah menyatakan sangat jelas. Perjanjian itu cacat. Ia telah mengarahkan pemerintah untuk berupaya memperbaikinya, dan apabila kami tidak dapat memperbaikinya, ia akan mundur dari perjanjian tersebut. Ini sangat lugas," kata Mike Pompeo.
Apabila Presiden Donald Trump tidak memberikan sertifikasi kepatuhan Iran terhadap perjanjian nuklir tersebut pada 12 Mei, Amerika Serikat dapat memberlakukan lagi sanksi-sanksi terhadap Negeri Para Mullah.
Di sisi lain, Iran tetap tak sepakat dengan usulan revisi JCPOA, menyebutnya sebagai sebuah sikap unilateral sekaligus tak menghargai prinsip kesepakatan internasional.
"Selain tidak menghormati kewajibannya sendiri dan semua komitmennya, Trump menetapkan persyaratan baru (terhadap JCPOA) yang tidak proporsional, yang tidak dapat diterima sama sekali bagi rakyat Iran," kata Menlu Iran, Javad Zarif.
Sementara itu, negara penanda tangan JCPOA lain, seperti Inggris dan Prancis, justru mengimbau agar AS tetap menegakkan pakta Kesepakatan Nuklir Iran itu.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Israel: Iran Melanggar Kesepakatan Nuklir
Kabar itu muncul usai laporan terbaru dari Perdana Menteri Israel yang mengklaim memiliki dokumen bukti bahwa Iran secara diam-diam menjalankan program pengembangan senjata nuklir.
Netanyahu juga mengklaim, dokumen puluhan ribu halaman itu menunjukkan bahwa Negeri Para Mullah telah menipu dunia dan melanggar Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA) dengan tetap mengembangkan proyek tersebut, meski Tehran menyangkalnya. Demikian seperti dikutip dari BBC.
Dokumen itu, menurut klaim Netanyahu, menunjukkan bahwa Iran telah memulai program senjata rahasia pada satu titik pada sebelum 2000-an. Program itu bernama Project Amad.
Program tersebut kemudian ditutup pada 2003, bertepatan ketika Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang terafiliasi PBB memulai penyelidikan terhadap Iran atas tuduhan mengembangkan energi nuklir untuk senjata.
Namun, menurut Netanyahu, program itu tak benar-benar ditutup.
Sejak 2003, Iran masih terus menjalankan program pengembangan senjata nuklir itu secara rahasia hingga beberapa tahun setelahnya, klaim Netanyahu. Bahkan, sampai ketika Tehran menandatangani JCPOA pada 2015 -- yang berarti menunjukkan pelanggaran Iran atas pakta tersebut.
Netanyahu mengatakan akan mengirim dokumen itu ke IAEA agar lembaga terafiliasi PBB itu bisa menganalisis lebih lanjut. Di sisi lain, negara anggota JCPOA masih mengkaji dokumen tersebut.
Advertisement