Jokowi Teken Aturan Kepemilikan Asing di Perusahaan Asuransi

Presiden Jokowi menandatangani peraturan pemerintah terkait kepemilikan asing pada perusahaan asuransi Indonesia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Mei 2018, 20:30 WIB
Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing Pada Perusahaan Perasuransian pada 17 April 2018. Aturan turunan ini untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasona H. Laoly itu. 

Seperti dikutip dari laman resmi Setkab, Jakarta, Minggu (1/5/2018), dalam PP ini ditegaskan, perusahaan asuransi hanya dapat dimiliki oleh:

a. Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh WNI, atau

b. WNI dan/atau badan hukum Indonesia bersama-sama dengan Warga Negara Asing (WNA) atau badan hukum asing yang harus merupakan perusahaan asuransi yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha asuransi yang sejenis.

Kepemilikan asing pada perusahaan asuransi hanya dapat dilakukan melalui transaksi di bursa efek,” bunyi Pasal 3 ayat (1) PP ini.

Kepemilikan asing pada perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dilakukan melalui:

a. penyertaan langsung pada perusahaan asuransi;

b. transaksi di bursa efek atas perusahaan asuransi; dan

c. penyertaan pada badan hukum Indonesia yang memiliki perusahaan asuransi melalui transaksi di bursa efek.

 

 


Kepemilikan Asing Hanya Boleh 80 Persen

Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)

Badan hukum asing yang memiliki perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, wajib memenuhi kriteria:

a. merupakan perusahaan asuransi yang memiliki usaha sejenis atau merupakan perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis, kecuali badan hukum asing yang memiliki perusahaan asuransi melalui transaksi di bursa efek dan transaksi di bursa efek atas badan hukum Indonesia yang memiliki perusahaan asuransi;

b. memiliki ekuitas paling sedikit lima kali dari besarnya penyertaan langsung pada perusahaan asuransi pada saat pendirian dan pada saat perubahan kepemilikan perusahaan asuransi; dan

c. memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Kepemilikan perusahaan asing pada perusahaan asuransi dilarang melebihi 80 persen dari modal disetor perusahaan asuransi,” bunyi Pasal 5 ayat (1) PP ini. Namun batasan 80 persen itu tidak berlaku bagi perusahaan asuransi yang merupakan perseroan terbuka.

Dalam hal kepemilkan asing pada perusahaan perasuransian yang bukan merupakan perseroan terbuka telah melebihi 80 persen pada saat PP ini berlaku, menurut Pasal 6 ayat (1) PP ini, perusahaan tersebut dikecualikan dari batasan kepemilikan asing sebagaimana dimaksud. Namun perusahaan asuransi tersebut dilarang menambah persentase kepemilikan asing.

Jika perusahaan asuransi tersebut melakukan penambahan modal disetor, menurut PP ini, penambahan modal disetor tersebut wajib memenuhi ketentuan:

a. paling sedikit 20 persen diperoleh dari badan hukum Indonesia dan/atau WNI; atau

b. paling sedikit 20 persen melalui penawaran umum perdana saham di Indonesia.

 

 


Pengawasan dan Pelaporan

Logo OJK (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut PP ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pengawasan terhadap kepemilikan asing pada perusahaan asuransi ini. Selain itu, perusahaan perasuransian wajib mengindentifikasi dan melaporkan kepemilikan asing dan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud kepada OJK.

“Ketentuan mengenai pelaporan kepemilkan asing dan pemenuhan kriteria pada perusahaan asuransi dilaksanakan sesuai dengan peraturan OJK,” bunyi Pasal 8 ayat (2) PP ini.

Perusahaan perasuransian yang tidak ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dikenai sanksi administratif oleh OJK berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;

c. pencabutan izin usaha; dan

d. denda asministratif.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya