Liputan6.com, Palangka Raya - Dua pekan menjelang bulan Ramadan, harga ayam potong di Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng) mulai merangkak naik. Saat ini di sejumlah pasar tradisional harga ayam potong melonjak sekitar Rp 7 ribu per kilogram (kg) dari semula Rp 33 ribu per kg menjadi Rp 40 ribu per kilonya. Alasannya karena pasokan yang berkurang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dari pantauan di Pasar Kahayan, Jumat (4/5/2018), sejumlah pedagang yang ditemui mengaku kenaikan harga sudah didorong penyesuaian harga dari distributornya di Banjarmasin. Pedagang tinggal mengikuti besaran kenaikan harga saja.
Baca Juga
Advertisement
Nani (40), salah seorang pedagang ayam mengatakan kenaikan harga ini sudah terjadi hampir sepekan. Kebutuhan konsumsi ayam di Banjarmasin naik karena ada acara peringatan haul salah satu ulama besar yang ada di sana sehingga pengiriman ke Kalteng berkurang.
"Tentu akibat kurangnya pasokan ini berimbas pada kenaikan harga di Palangka Raya," ujarnya.
Bila sebelumnya dia mampu menjual minimal 6-10 kg ayam, saat ini untuk menjual 3-5 kg sangat sulit.
"Sepertinya masyarakat sementara mengurangi konsumsi ayam,"kata Nani.
Untuk diketahui, hampir 90 persen kebutuhan ayam potong masyarakat Kalteng harus dipasok dari Kalsel. Akibatnya, harga ditentukan oleh para pemasok besar yang berada di sana. Di sisi lain, sejumlah kandang penyangga yang didirikan oleh Pemprov Kalteng ternyata belum mampu untuk memenuhi kebutuhan warga.
"Kami berharap agar pemerintah turun tangan untuk melakukan operasi pasar agar harga ayam bisa kembali normal," terangnya.
Sebab menurut Nani kenaikan harga ini bukan memberikan keuntungan berlipat, tapi sebaliknya malah berkurang.
Menanggapi hal itu, Pemprov Kalteng berjanji akan melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga.
"Kita segera berkoordinasi dengan satgas mafia pangan dan Bulog untuk melakukan operasi pasar," tegas Wakil Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kalteng, Setian.
Operasi pasar sebelum puasa ini, menurut dia penting dilakukan agar pedagang tidak menaikan harga secara sepihak.
Pada awal Mei inim sejumlah kandang penyangga akan panen sekitar 10 ribu ekor ayam. Diharapkan ini juga bisa menekan harga ayam," jelasnya.
Jelang Ramadan, Pemerintah Perlu Mewaspadai Harga Pangan
Jelang bulan Ramadan hingga Idul Fitri biasanya harga pangan melonjak naik. Apalagi saat ini tekanan tukar rupiah terhadap dollar AS. Tentu hal itu periu diwaspadai oleh pemerintah.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta mengatakan, nilai tukar rupiah yang masih tertekan terhadap dolar AS berpotensi stabilitas harga pangan, antara lain karena terdongkraknya harga bahan baku impor. Kondisi ini akan memberikan tekanan kepada daya beli masyarakat.
“Dalam Ekonomi Pancasila, negara harus hadir untuk menciptakan kesejahteraan rakyatnya, begitupun dalam menjaga daya beli masyarakat,” ujar Arif Budimanta dalam Seminar Nasional Ekonomi Pancasila di Universitas Brawijaya, pada 3 Mei 2018.
Mengenai hal itu, lanjut Arif Jika harga meningkat yang ‘dimotori’ oleh terdepresiasinya rupiah terhadap dolar, hal itu akan menurunkan daya beli masyarakat.
Dengan demikian, tingkat kesejahteraan rakyat akan terganggu. Dalam konteks inilah, kehadiran pemerintah menjadi penting demi menjaga stabilitas harga.
Maka dari itu, untuk menjaga stabilitas harga pangan, Arif melanjutkan, pemerintah harus memastikan ketersediaan pasokan bahan pangan. Pemerintah perlu mempertajam peranan badan dan lembaga yang ada, yang berfungsi untuk menjaga stabilitas harga pangan, misalnya Bulog.
Mengenai Bulog, Arif mengatakan harus semakin sensitif terhadap kondisi saat ini. Nantinya, respons yang dapat diberikan bisa cepat dan akurat demi menjaga stabilitas harga pangan. Begitu juga dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Perdagangan yang diharapkan turut serta terlibat.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan memonitor terhadap implementasi penetapan harga acuan yang dibuat oleh Kementerian Perdagangan dengan tujuan menjaga daya beli masyarakat, khususnya masyarakat berpendapatan rendah.
“Kalau harga naik tentunya kemakmuran akan berkurang dan ini tidak sejalan dengan cita-cita Pancasila,” ungkap Arif Budimanta.
Sementara itu, dalam menjaga nilai tukar rupiah, negara melalui Bank Indonesia dipastikan kehadirannya untuk menjaga volatilitas nilai tukar rupiah. Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada 2 Mei 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp13.939. Secara year to date, rupiah telah terdepresiasi sebanyak 2,9%.
Advertisement