Buronan Kasus Korupsi Rp 1,1 Miliar Ditangkap Saat Jualan Kopi di Jakarta

Penjual kopi yang ditangkap Kejaksaan Tinggi Riau itu sudah dinyatakan buron sejak November 2017 setelah namanya disebut di persidangan kasus korupsi.

oleh M Syukur diperbarui 05 Mei 2018, 10:01 WIB
Penjual kopi yang ditangkap Kejaksaan Tinggi Riau itu sudah dinyatakan buron sejak November 2017 setelah namanya disebut di persidangan kasus korupsi. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Diduga melakukan korupsi uang program sistem keuangan desa Rp 1,1 miliar, Abdul Hakim memilih kabur ke Jakarta. Selama lima bulan di Ibu Kota, rekanan pengadaan jasa di Kabupaten Siak ini bekerja menjadi penjual kopi keliling di kawasan Epicentrum, Kuningan.

"Jualan kopi yang pakai mobil itu, keliling," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Siak, Immanuel Tarigan, Jumat petang, 4 Mei 2018.

Immanuel menerangkan, Abdul Hakim usai ditangkap pada Kamis malam, 3 Mei 2018 malam, sempat menginap di sel Kejaksaan Agung. Jumat siang, dia dibawa ke kantor Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau.

Di Kejati, Abdul Hakim digiring dengan tangan terborgol. Ia selanjutnya akan diperiksa sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang terjadi pada 2015 guna melengkapi berkasnya.

"Dia ini kabur setelah mendengar namanya disebut dalam persidangan, kan sudah ada satu terdakwa lainnya yang disidang dalam kasus ini," kata Immanuel.

Sementara Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejati Riau, Muspidauan, menyebut Abdul sudah buron sejak November 2017. Sebelum itu, Abdul sudah tiga kali dipanggil tapi selalu mangkir.

Kejaksaan yang menjemput paksa Abdul ke rumah tidak menemukan keberadaannya. Beberapa bulan dicari akhirnya diketahui keberadaannya di Jakarta.

"Lagi jualan kopi ditangkapnya," kata Muspidauan.

Seharusnya, tambah Muspidauan, Abdul begitu tiba di Kejati Riau harus diperiksa sebagai tersangka. Hanya saja, kuasa hukumnya tak berada di Riau, hingga pemeriksaannya dijadwal ulang.

"Dijadwal ulang pekan depan karena pemeriksaan tersangka harus didampingi kuasa hukum," kata Muspidauan.

Sebelumnya, pesakitan lainnya dalam kasus ini, Abdul Razak, mantan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Siak divonis 1 tahun di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 15 Januari 2018.

Razak dinyatakan majelis hakim yang diketuai Sulhanuddin melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.

Selain penjara, Abdul Razak juga dihukum membayar denda Rp 50 juta atau diganti kurungan selama satu bulan. Terdakwa tidak dihukum membayar ganti rugi keuangan negara karena dibebankan kepada Abdul Hakim.

 

 


Kronologi Kasus

Ilustrasi Korupsi

Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Abdul Razak dengan hukuman penjara 4 tahun 6 bulan. Ia juga dituntut membayar denda Rp 50 juta atau subsider 3 bukan kurungan.

Dalam dakwaan JPU disebutkan, dugaan korupsi ini terjadi pada 2015 lalu ketika Abdul Razak menjabat Kepala BPMPD Siak. Saat itu, 122 desa mengadakan paket software sistem Informasi Manajemen Administrasi dan Keuangan Desa (Simkudes) yang dikerjakan oleh PT Dimensi Tata Desantara, dengan direkturnya, Abdul Hakim.

Program ini bersamaan dengan pengadaan pelatihan, papan informasi monografi dan profil desa, serta pengadaan buku pedoman umum penyelenggaraan pemerintah desa plus CD aplikasi dan buku suplemen tersebut. Masing-masing desa menganggarkan sebesar Rp 17,5 juta.

Dalam perjalanannya, diduga terjadi penyelewengan anggaran, setiap desa dipungut biaya sebesar Rp 17 juta oleh BPMPD Siak. Dari audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, tindakan itu merugikan negara Rp 1,136 miliar.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya