Sepi Sentimen Positif, IHSG Tinggalkan 5.800 pada Pekan Ini

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 2,14 persen pada periode 27 April-4 Mei 2017. IHSG turun menjadi 5.792,34.

oleh Agustina Melani diperbarui 05 Mei 2018, 09:30 WIB
Suasana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015). Pelemahan indeks BEI ini seiring dengan melemahnya laju bursa saham di kawasan Asia serta laporan kinerja emiten triwulan III yang melambat. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) alami koreksi tajam pada pekan ini. Saham kapitalisasi besar dan kecil kompak melemahselama sepekan.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (5/5/2018), IHSG melemah 2,14 persen pada periode 27 April-4 Mei 2017. IHSG turun menjadi 5.792,34. Tekanan IHSG yang terjadi didorong saham kapitalisasi besar dengan indeks saham LQ45 tergelincir 2,7 persen selama sepekan.

Sedangkan saham kapitalisasi kecil susut didorong sektor saham pertanian,konstruksi dan properti. Investor asing pun masih betah jual saham. Tercatat aksi jual saham mencapai USD 133 juta atau sekitarRp 1,85 triliun (asumsi kurs Rp 13.956 per dolar Amerika Serikat).

Sementara itu, indeks obligasi atau surat utang susut 0,26 persen selama sepekan. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahunnaik 4,3 basis poin menjadi 7,01 persen. Investor lepas obligasi USD 209 juta atau sekitar Rp 2,91 triliun. Posisi rupiah bergerak di kisaran 13.945 per dolar Amerika Serikat pada pekan ini.

Berdasarkan laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia ada sejumlah faktor pengaruhi laju IHSG selama sepekan. Dari eksternal,pada awal Mei 2018, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve gelar pertemuan. Hasil rapat the Federal Reservememutuskan pertahankan suku bunga 1,5 persen-1,75 persen. Hal ini sesuai harapan pasar.

Pejabat the Federal Reserve mengatakan kalau pasar tenaga kerja masih lanjutkan penguatan. Didukung aktivitas ekonomi masih tumbuh kuat dan inflasi mendekati target dua persen. The Federal Reserve diperkirakan menaikkan suku bunga pada Juni 2018. Selain itu, AS juga rilis data ekonomi. Tercatat ekonomi AS tumbuh 2,3 persen pada kuartal I 2018. Angka ini di bawah periode sebelumnya 2,9 persen.

Namun, pertumbuhan ekonomi AS itu di atas harapan pelaku pasar dua persen. Namun, tingkat pertumbuhan terendah dalam setahun. Konsumsi pribadi mereda di tengah pengeluaran yang lebih rendah pada mobil, pakaian, alas kaki, dan investasi. Rilis data ekonomi lainnya yaitu Institute for Supply Management Manufacturing PMI di AS turun menjadi 57,3 pada April 2018 dari bulan sebelumnya 59,3.

Angka itu menunjukkan laju pelemahan paling lemah di sektor manufaktur sejak Juli 2017. Ini karena pesanan baru, produksi,lapangan kerja tumbuh lambat. Sentimen luar negeri lainnya pengaruhi pasar yaitu China. Negara tirai bambu itu berhenti membeli kedelai dari AS.Kabar itu menunjukkan kalau China tidak lagi membeli kedelai AS di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan.

China telah membatalkan beberapa kali pembelian kedelai AS dalam dua minggu sejak April 2018. Pada pekan ini, AS dan China melakukan pertemuan untuk diskusi soal perdagangan. Dari internal, Bank Indonesia (BI) akan meningkatkan kepemilikan obligasi pemerintah seiring mata uang rupiah melemah.

Nilai tukar rupiah tertekan itu juga memacu investor asing realisasikan keuntungan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun naik menjadi 7,21 persen pada 25 April 2018. Investor asing memegang38,5 persen dari obligasi pemerintah Indonesia berdenominasi rupiah.

 


Selanjutnya

Indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah tipis 0,01 persen (0,41 poin) ke 5.371,67 pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kemudian apa hal yang perlu dicermati ke depan?

Sebelumnya konsensus memperkirakan pertumbuhan earning per share (eps) 13-14 persen pada 2018. Namun, Ashmore melihat penurunan pertumbuhan eps menjadi 12-13 persen year on year (YoY).

Hingga kini, mayoritas perusahaan telah melaporkan hasil kinerja keuangan kuartal I 2018 dan direspons cukup positif. Pertumbuhanpendapatan emiten sekitar tujuh persen pada kuartal I 2018.

"Hanya sepertiga perusahaan yang kinerjanya di bawah dari yang diperkirakan.Jumlah perusahaan itu dari total perusahaan yang sudah laporkan kinerja keuangan," tulis laporan Ashmore.

Selain itu, Ashmore melihat kejutan dari kinerja barang konsumsi termasuk rokok yang masih melemah. Harga jual rendahuntuk semen dan tekanan marjin berlanjut berdampak terhadap pendapatan emiten. Sementara itu, sektor konstruksi dan ritelmenunjukkan kinerja positif. Adapun sektor yang menunjukkan sesuai harapan kinerha antara lain bank, batu bara, supply chain dan properti. Diperkirakan sektor emiten itu dapat mampu mengejar target hingga akhir 2018.

Lalu menjadi pertanyaan kini mengapa kinerja barang konsumsi lamban tetapi ritel menguat? Ashmore melihat pertanyaanitu akan muncul pada akhir tahun jika konsumsi tidak meningkat.

Salah satu kemungkinannya didorong dari perubahan struktural konsumen yang lebih memilih gaya hidup dari pada pembelian bokok.Lalu apa yang dapat meningkatkan konsumsi pada kuartal II 2018? Pertama, aliran dana kampanye yang belum digunakan dan anggaran desa.Pada April 2018, ekonomi memperkirakan 80 persen anggaran telah dialihkan ke daerah tetapi belum disalurkan untuk desa.

"Kedua, tambahan tunjangan dan bonus untuk pensiunan dan pegawai negeri sipil mulai 2018 dapat perbesar pendapatan," tulis Ashmore.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya