Pengamat: Perang Tagar Pilpres 2019 Bisa Tingkatkan Partisipasi Politik

Gun Gun Heryanto menyebut, fenomena perang tagar Pilpres 2019 di media sosial sebagai perubahan konteks sosial politik yang semakin dinamis.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 05 Mei 2018, 16:09 WIB
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto menjadi pembicara dalam Launching dan diskusi indeks kerawan pemilu (IKP), Jakarta, Selasa (1/9/2015). Bawaslu merilis IKP menjelang pilkada serentak 2015. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019, perang tanda pagar (tagar) antara pendukung calon presiden mulai berlangsung di media sosial.

Saat ini diketahui ada beberapa tagar yang menggenggama di dunia maya. Di antaranya #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi.

Analis Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Jakarta Gun Gun Heryanto menyebut, fenomena ini sebagai perubahan konteks sosial politik yang semakin dinamis. Terutama ketika ada keterbukaan yang sangat erat antara demokrasi di dunia nyata dengan cyber demokrasi.

"Cyber demokrasi ini memang salah satu penandanya adalah ekspresi kebebasan berpendapat, kemudian tentu juga kebebasan untuk punya pilihan-pilihan politik sesuai preferensi pilihan masing-masing, yang enggan diekspresi di dunia digital," ujar Gun Gun dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, 'Politik Tagar, Bikin Gempar' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (4/5/2018).

Gun Gun mengatakan, tagar di media sosial Twitter merupakan salah satunya. Dia melihat tagar itu sebagai ekspresi simbolik dari referensi pilihan masing-masing orang.

"Seperti misalnya ada orang yang tertarik untuk 2019 ganti presiden, ada yang 2019 tetap melanjutkan incumbent dalam konteks ini pemerintahan Jokowi," ungkap dia.

 


Dampak Positif

Pedagang menjajakan stiker #2019GantiPresiden saat berlangsungnya Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/4). Pedagang banyak meraup untung dari penjualan kaus dan atribut bertagar #2019GantiPresiden. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Gun Gun, fenomena ini dapat berdampak positif dalam meningkatkan partisipasi politik. Dia menyebutkan, pengguna internet di Indonesia ada 132 jutaan dari 185 juta pemilih di Pemilu 2019.

"Ini sebenarnya bisa menjadi corong yang sangat potensial dari jumlah 250 juta penduduk Indonesia. Pengguna internet di Indonesia rata-rata 52 persen antara internet user dengan total populasi," ucap Gun Gun.

Dia menambahkan, "menurut saya ini sebuah berkah kontestasi electoral yang terfasilitasi bukan hanya di maindstream media, bukan hanya di face to face informal, tetapi bisa menyapa orang yang berbeda lewat sosial media antara lain lewat hastag," papar dia.

Namun demikian, Gun Gun mengingatkan, media sosial juga selalu berwajah janus atau berwajah dua. Satu sisi bisa menjadi alat kampanye, alat publisitas, alat propaganda. Di sisi lain juga bisa menjadi alat black propaganda, black campaign.

"Itu yang perlu di antisipasi. Akibat ekses dari pelimpahan komunikasi yang terjadi," dia menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya