Liputan6.com, Melbourne - Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop memperingatkan Beijing agar tidak melakukan militerisasi Laut China Selatan menyusul laporan bahwa negara itu telah memasang sistem rudal di perairan yang dipersengketakan.
Jaringan media CNBC kemarin melaporkan China telah memasang rudal-rudal penjelajah anti-kapal dan sistem rudal darat-ke-udara pada tiga pos terdepan di Laut China Selatan. Media ini mengutip sumber-sumber di kalangan intelijen AS.
Dikutip dari laman AustraliaPlus Indonesia, Minggu (6/5/2018), Menlu Bishop tidak menjelaskan apakah Pemerintah Australia memiliki data intelijen mengenai hal itu. Namun dia menyebutkan, jika laporan itu akurat, maka pihaknya sangat khawatir.
"Jika laporan media itu akurat, maka Pemerintah Australia prihatin karena hal itu bertentangan dengan apa yang disampaikan China yang tidak akan memiliterisasi pulau-pulau buatan ini," kata Menlu Bishop.
Baca Juga
Advertisement
"China tentu saja memiliki tanggung jawab khusus sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dalam menegakkan perdamaian dan keamanan di seluruh dunia," jelasnya.
"Tindakan apa pun untuk memiliterisasi pulau-pulau buatan di Laut China Selatan akan bertentangan dengan tanggung jawab dan peranan mereka," tambah Menlu Bishop.
Amerika Serikat juga telah memperingatkan China bahwa militerisasi di wilayah itu akan membawa konsekuensi.
Ditanya tentang laporan itu, juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan, "Kami sangat menyadari militerisasi China di Laut China Selatan."
"Kami telah menyampaikan permasalahan ini secara langsung kepada China tentang hal ini dan mengenai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjangnya," katanya.
Huckabee Sanders tidak menjelaskan seperti apa bentuk konsekuensinya.
Seorang pejabat AS yang tak mau disebutkan namanya mengatakan intelijen AS melihat tanda-tanda bahwa China telah memindahkan beberapa sistem persenjataan ke Kepulauan Spratly dalam sebulan terakhir. Namun dia tidak menjelaskan rincian lebih lanjut.
CNBC mengutip sumber yang mengatakan bahwa dalam penilaian intelijen AS, rudal itu dipindahkan ke Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef di Kepulauan Spratly dalam 30 hari terakhir.
Pemasangan sistem rudal itu menjadi yang pertama dilakukan China di Spratly, suatu wilayah yang diklaim sejumlah negara termasuk Vietnam dan Taiwan.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan pihaknya memiliki kedaulatan sah atas Spratly dan pengerahan tersebut diperlukan untuk keamanan nasional dan tidak ditujukan untuk negara manapun.
"Mereka yang tidak berniat menjadi agresif tidak perlu khawatir atau takut," kata juru bicara Kemenlu China Hua Chunying.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan untuk dimintai komentarnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kemungkinan China Gunakan Rudalnya
CNBC mengatakan rudal penjelajah anti-kapal YJ-12B memungkinkan China menyerang kapal-kapal di wilayah itu dalam jarak 295 mil laut.
Dikatakan rudal jarak jauh HQ-9B, darat-ke-udara dapat menargetkan pesawat, drone dan rudal penjelajah dalam jarak 160 mil laut.
Eric Sayers, mantan konsultan komandan Komando Pasifik AS, menyebut pemasangan sistem rudal itu sebagai "perkembangan utama".
"Ketika China melihat pihaknya bisa lolos dengan tindakan semacam ini dengan biaya yang kecil - seperti yang mereka lakukan sepanjang tahun 2015 dan 2016 - tampaknya semakin mungkin nantinya mereka akan terus menekan," kata Sayers.
"China melihat keikutsertaannya dalam latihan itu sebagai tanda penerimaan di antara kekuatan maritim dunia. Tetapi Beijing tidak boleh diizinkan melakukan militerisasi domain maritim terbuka ini dan masih dihormati sebagai anggota komunitas maritim," tambahnya.
Bulan lalu, Laksamana AS Philip Davidson, yang dinominasikan memimpin Komando Pasifik AS mengatakan China dapat menggunakan "pangkalan operasi ke depan" di Laut China Selatan untuk menantang kehadiran AS dan "dengan mudah mengatasi kekuatan militer lainnya di Laut China Selatan yang turut mengklaim wilayah itu."
Advertisement