Jalan Majapahit di Bandung, Hapus 'Luka Lama' Perang Bubat

Penamaan atau penggunaan Majapahit dan Hayam Wuruk sebagai nama jalan di Kota Bandung merupakan langkah lanjutan rekonsiliasi antara budaya Jawa dan Sunda.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Mei 2018, 23:01 WIB
Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengapresiasi peresmian dimulainya pembangunan jalur ganda (double track) kereta api Bogor-Sukabumi Tahap I, Jumat (15/12/2017). (Liputan6.com/Mulvi Mohammad)

Liputan6.com, Bandung - Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung, Jawa Barat, akan segera diresmikan dan penggunaan dua nama jalan tersebut sebagai balasan dari penggunaan nama Prabu Siliwangi, Pasundan, dan Pajajaran sebagai nama jalan di Yogyakarta dan Surabaya, Jawa Timur.

"Penamaan atau penggunaan Majapahit dan Hayam Wuruk sebagai nama jalan di Kota Bandung merupakan langkah lanjutan rekonsiliasi antara budaya Jawa dan budaya Sunda," ucap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau Aher, di Bandung, Senin, 7 Mei 2018, dilansir Antara.

Menurutnya, selama ini, terdapat beban psikologis yang menjadikan Majapahit dan Hayam Wuruk tidak bisa menjadi nama jalan di Jawa Barat. Sebab, luka lama yang dialami warga Kerajaan Pajajaran atas kejadian Perang Bubat dengan Kerajaan Majapahit.

Dan sebaliknya, Pajajaran dan Siliwangi tidak dapat menjadi nama jalan di Tanah Jawa karena hal yang sama. "Alhamdulillah sekarang sudah ada Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogyakarta dan Surabaya. Kita akan buat juga Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Bandung," kata Aher.

Orang nomor satu di Provinsi Jawa Barat ini menilai sudah bukan saatnya lagi mempertahankan isu-isu emosional dari masa lalu, termasuk mengungkit-ungkit peristiwa Pasunda Bubat, atau Perang Bubat pada abad ke-14 Masehi.

Ia menuturkan peristiwa tersebut baru ditulis dua abad setelahnya, yakni pada abad ke-16 dalam sebuah karya sastra berjudul Kidung Sundayana.

"Peristiwa Pasundan Bubat adalah sejarah, fakta empiris yang tidak terhapus dari catatan bangsa Indonesia. Peristiwa Pasunda Bubat tidak boleh dilupakan, tapi maafkanlah," ujarnya.

Aher pun mengimbau agar semua pihak menghilangkan dendam sejarah terkait Perang Bubat. "Berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan," imbuhnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Nama Baru Jalan di Yogya Redakan 'Konflik' Jawa dan Sunda

Peresmian jalan arteri Yogyakarta dihadiri oleh Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat. Foto: (Switzy Sabandar/Liputan6.com)

Sebelumnya, pemberian nama jalan arteri di Yogyakarta dengan nama raja dan kerajaan besar di Jawa ternyata berkaitan dengan rekonsiliasi budaya Jawa dan Sunda.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 166 Tahun 2017 tentang Penamaan Jalan Arteri, ruas jalan yang dikenal sebagai ring road dipenggal menjadi enam nama jalan. Dua jalan menggunakan nama raja besar, dua lain menyandang nama kerajaan, dan sisanya nama tokoh penting sejarah Indonesia modern.

Simpang tiga Jombor sampai simpang tiga Maguwoharjo (10 kilometer) bernama Jalan Pajajaran. Simpang empat Pelem Gurih sampai Jombor (5,8 kilometer) merupakan Jalan Siliwangi. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping diberi nama Jalan Brawijaya.

Selanjutnya, simpang empat Janti sampai Ketandan disebut Jalan Majapahit. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping dikenal dengan nama Jalan Brawijaya. Simpang empat Wonosari (Ketandan) sampai Imogiri Barat (Wojo) dinamai Jalan Ahmad Yani. Simpang empat Wojo sampai Dongkelan bernama Jalan Prof Dr Wirjono Projodikoro.

"Peresmian sebagai cara menyelesaikan permasalahan sejarah yang selama beberapa abad membebani psikologi suku Jawa dan Sunda," ujar Sultan HB X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, saat meresmikan nama baru jalan arteri di Yogyakarta, Selasa, 3 Oktober 2017, dikutip Liputan6.com.

Ia mengatakan penggunaan dua nama besar dalam sejarah dua suku dapat menghapus dendam di masa lalu. Stigma kurang baik antara Jawa dan Sunda berawal dari Perang Bubat yang melibatkan Kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Stereotipe turun-temurun menghasilkan pandangan hidup antar-suku yang saling mengolok.

Menurut Sultan, kesalahan di masa lalu kemungkinan terjadi karena tindakan pemimpin yang khilaf dalam mengambil kebijakan.

"Marilah kita saling melupakan dan memaafkan semua kesalahan masa lalu, sebab apa yang terjadi di masa lalu adalah sejarah," ucapnya.

Sultan menuturkan, kedua suku harus bersatu dan bersama-sama menghadapi tantangan dalam membangun bangsa dan negara.

Momentum Penting

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, yang hadir dalam peresmian nama jalan menilai tindakan Sultan HB X sebagai Raja Jawa menjadi momentum penting dalam sejarah Pulau Jawa. Ia sepakat perselisihan yang sudah mendarah daging harus diakhiri.

"Sunda dan Jawa adalah suku besar yang jika bersatu bisa membawa kemajuan bagi Indonesia," kata Aher.

Ia juga berharap hal yang dilakukan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta ini bisa dilakukan juga oleh pemerintah Jawa Timur, bahkan segera mungkin Jawa Barat melakukan hal yang sama.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berjanji untuk menghadirkan nama-nama kerajaan dan tokoh kerajaan di Jawa, seperti Hayam Wuruk, Majapahit, dan Brawijaya di Bandung. Ia mengaku akan membicarakan hal ini dengan DPRD setempat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya