Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menyatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang tembus 14.000 bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Meski level ini sudah berada di atas asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar Rp 13.400 per dolar AS.
"Enggak (khawatir). Kalau dari sisi APBN kan sudah berkali-kali disampaikan yang namanya asumsi kurs buat APBN itu bersifat indikatif. Apa yang terjadi kalau kurs lebih lemah dari yang diasumsikan di APBN," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengungkapkan, pelemahan rupiah ini tidak selalu memberikan dampak negatif. Sebab, kondisi rupiah seperti ini memberikan tambahan penerimaan bagi negara, misalnya melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan serta royalti di sektor tersebut.
"Yang terjadi adalah kita akan memiliki penerimaan. Dari penerimaan yang kita dapatkan itu lebih tinggi dari pengeluarannya gara-gara kurs. Apa pengeluaran yang terkait kurs? Pengeluaran terkait kurs itu subsidi. Karena subsidi itu kita beli dari luar negeri minyaknya. Kemudian pembayaran bunga, cicilan pokok, maupun utang bunga. Tetapi kalau kita net antara pengeluaran dan penerimaan, maka efeknya masih lebih tinggi penerimaannya," jelas Suahasil.
Namun lanjut Suahasil, pelemahan rupiah ini pasti akan berdampak pada variabel dalam ekonomi makro, yang juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal ini yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.
"Jadi kalau dari sisi pengelolaan APBN, tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Tetapi kita tetap perlu mengamati dan memastikan situasinya, kan bukan hanya APBN tapi perekonomian secara keseluruhan. Bagaimana dampaknya ke variabel ekonomi makro yang lain, misalnya inflasi bagaimana, kondisi masyarakat jadi seperti apa, kondisi BUMN seperti apa, itu terus jadi perhatian kita," kata dia.
Meski demikian, Suahasil memastikan pemerintah akan terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah hingga nantinya diperlukan langkah-langkah lanjutan untuk bisa mengendalikan hal ini.
"Tapi yang namanya pergerakan kurs juga bergerak sepanjang hari. Jadi kita perhatikan terus," tandas Suahasil.
Rupiah Tembus 14.000 per Dolar AS, Terendah sejak Desember 2015
Nilai tukar Rupiah kembali terpuruk. Rupiah tercatat diperdagangkan di atas 14.000 per USD untuk pertama kalinya sejak Desember 2015. Ini dipicu kekhawatiran jika pertumbuhan ekonomi yang di luar target, dapat membatasi opsi bank sentral untuk mempertahankan mata uang ini.
Mengutip laman Bloomberg, Senin (7/5/2018), Rupiah anjlok 0,5 persen menjadi 14.003 per USD, sebelum diperdagangkan pada 13.999 pukul 4:55. Dalam 3 bulan terakhir, mata uang Garuda telah melemah 3,2 persen. Ini membuatnya menjadi pemain terburuk kedua di Asia setelah rupee India, mengutip data Bloomberg.
Perekonomian Indonesia dilaporkan tumbuh di luar target pada kuartal I tahun ini. BPS melaporkan ekonomi nasional hanya tumbuh 5,06 persen dari target 5,2 persen.
Kondisi ini diprediksi akan mempersulit langkah Bank Indonesia untuk meningkatkan suku bunga guna melindungi mata uang. Bank sentral telah meningkatkan pembelian obligasi negara dari pasar sekunder untuk membendung aksi jual dan melakukan intervensi di pasar valas untuk menstabilkan rupiah.
Menurut Mingze Wu, pedagang mata uang INTL FCStone Inc di Singapura, tekanan pada mata uang dapat terus berlanjut karena investor asing akan mengonversi dividen dan pembayaran bunga saham dan obligasi dalam denominasi Rupiah menjadi dolar. "Ini hanya musiman yang menambah tekanan," kata Wu.
"Meskipun demikian, 14.000 adalah penghalang psikologis sehingga bank sentral mungkin masih memainkan bagian untuk mempertahankan ini," lanjut dia.
Namun, Kepala Ekonomi dan penelitian PT UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, menilai ada kesalahpahaman jika ekonomi Indonesia tampak sedang menuju kemunduran seperti yang ditunjukkan oleh depresiasi Rupiah.
“Tapi kami melihat ini sebagai penguatan dolar yang luas, dan upaya yang diambil oleh Bank Indonesia untuk campur tangan dari waktu ke waktu untuk memperbaiki kesalahpahaman dibenarkan,” dia menuturkan.
Advertisement