Kuasa Ilahi di Masjid Rahmatullah Aceh

Saat tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004 lalu, Kota Lhoknga luluh lantak nyaris rata dengan tanah, kecuali Masjid Rahmatullah.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 10 Mei 2018, 09:20 WIB
Masjid yang masih berdiri ditempa tsunami di Aceh. (foto: ABC.net)

Liputan6.com, Jakarta - Bencana tsunami yang menerjang Aceh, 26 Desember 2004 lalu, menyisakan banyak cerita. Ada soal korban yang mencapai ribuan orang, hingga tentang bangunan-bangunan yang berhasil selamat dari terjangan bencana dahsyat itu. Salah satu yang masih tetap kokoh berdiri meski diguncang gempa dan tsunami adalah Masjid Rahmatullah.

Masjid seluas 1.600 meter persegi ini berada di Lhoknga, dekat Banda Aceh. Kota ini nyaris rata dengan tanah usai tsunami menerjang Aceh.

Namun keajaiban terjadi, Masjid Rahmatullah ini tetap berdiri tegak di tengah kehancuran. Sejumlah orang yakin, kuasa Illahi menyelamatkan masjid tersebut.

Masjid ini menjadi saksi bagaimana kedahsyatan empasan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan Aceh 2004 lalu.

Sebelum tsunami, perkampungan ini dihuni sekitar 6.000 jiwa yang umumnya berasal dari kelas menengah ke atas. Penduduk di perkampungan ini mayoritas karyawan PT Semen Andalas Indonesia. Selain itu, terdapat pula nelayan, petani, dan warga dari berbagai latar belakang profesi lainnya.

Saat tsunami terjadi, masjid yang hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai ini menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa. Meskipun beberapa sisi bangunan masjid rusak, sebagian besar tetap utuh dan selamat.

Keajaiban itu juga tertangkap satelit Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Foto Lhoknga dari angkasa luar menunjukkan fitur melingkar berwarna putih. Itu adalah sebuah masjid yang selamat dan berdiri kokoh di tengah segala kehancuran.

 


Detik-Detik Tsunami

File foto (atas) diambil pada 28 Desember 2004 puing-puing berserakan di dasar Baiturrahaman Masjid Banda Aceh, Provinsi Aceh. Foto di lokasi yang sama diambil pada 27 November 2014. (AFP PHOTO/Bay Ismoyo)

Salah seorang warga bernama Syahrizal bin Razali, menceritakan bagaimana detik-detik datangnya tsunami saat dia tengah berada di depan Masjid Rahmatullah.

"Mereka berteriak air laut naik, air laut naik. Lari…lari…," ungkap Syahrizal menggambarkan kepanikan warga kala itu.

Syahrizal dan sejumlah jemaah yang berkumpul di depan masjid, sempat tidak percaya dengan teriakan warga yang berlarian dari arah barat tersebut. Baru setelah melihat sendiri gelombang besar air laut yang datang bergulung-gulung menuju masjid, Syahrizal dan jemaah lain lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Tapi terlambat, laju air laut lebih cepat dari langkah orang-orang kampung itu.

Air bah menyapu apa saja yang ada di depannya; rumah-rumah, sekolah, balai desa, pohon-pohon, dan tentu saja orang-orang yang tak berdaya.

"Mereka habis, hanyut, dan rata dengan tanah. Kecuali Masjid Rahmatullah yang tetap berdiri kukuh. Bahkan, kubahnya utuh. Hanya lambang bulan bintangnya yang sedikit miring," ucap Syahrizal seperti dilansir dari JawaPos.com.

Syahrizal mengaku sedih, karena ketika itu banyak warga terlambat menyelamatkan diri. "Waktu itu seharusnya kami lari ke bukit atau naik ke atap masjid. Pasti banyak yang selamat," sesal Syahrizal, yang merupakan satu di antara segelintir warga Lampuuk yang selamat.

"Pokoknya, saya lari sekencang-kencangnya. Saya enggak mikir apa-apa lagi. Yang penting selamat," imbuh pria yang saat ini menjadi bendahara Masjid Rahmatullah itu.

Setelah 13 tahun berlalu, kini masjid tersebut sudah cantik kembali. Bahkan, catnya terus diperbarui agar tetap terlihat bersih. Sebab, sejak masjid itu dibuka kembali setelah direnovasi, banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang berdatangan.

Mereka yang datang, kata Syahrizal, umumnya ingin membuktikan langsung kebenaran berita bahwa Masjid Rahmatullah selamat dari tsunami seperti yang tergambar dalam foto-foto yang beredar di media dan internet.

 


Bongkahan Batu Karang

File foto (atas) diambil pada 2 Januari 2005 menggambarkan sebuah masjid yang rusak di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya. Foto di lokasi yang sama diambil pada 29 November 2014. (AFP PHOTO/CHOO Youn-KONG-atas, AFP PHOTO/Chaideer Mahyuddin-bawah)

Untuk mengenang bagaimana dahsyatnya tsunami saat itu, pengurus masjid sengaja menyisakan satu bagian di pojok tenggara masjid yang masih terlihat hancur.

Bagian itu hanya ditutupi dinding kaca yang ditempeli foto-foto kondisi masjid sesaat setelah terkena tsunami. Di dalamnya tampak masih ada bongkahan batu karang dan batu-batu koral yang berserakan di atas pasir. Ada pula satu tiang masjid yang dibiarkan roboh.

Syahrizal menuturkan, Masjid Rahmatullah dibangun secara swadaya dan bertahap pada 1990. Biayanya mencapai Rp 500 juta. Dari dana sebesar itu, Rp 150 juta hasil urunan warga. Selebihnya menggunakan uang hasil lelang sarang walet milik desa. Sarang tersebut berada di sebuah gua tepi laut di kawasan perbukitan sebelah desa.

"Gua itu disewakan Rp 70 juta setahun. Pemenangnya bisa memanfaatkan gua itu untuk sarang walet selama masa sewa. Jadi, setiap tahun gua itu dilelang agar dapat harga yang terus naik," tuturnya.

Masjid tersebut diresmikan pada 1998 dan mampu menampung 4.000 orang. Namun, pada hari-hari biasa, masjid terisi tak lebih dari setengahnya. Jemaah baru penuh bila salat Jumat atau salat Idul Fitri dan Idul Adha.

Salah satu keunggulan masjid ini adalah tiang-tiang betonnya yang tebal dan kuat. Begitu pula temboknya. "Temboknya menggunakan bata dua susun yang dijajar," ucap ayah satu anak tersebut.

Yang sedikit berbeda, kini ada dua menara tinggi yang di atasnya terdapat pengeras suara. Sekarang suara azan bisa terdengar dari kejauhan. Selain itu, ada prasasti yang menandakan bahwa masjid itu selamat dari tsunami.

Kini Masjid Rahmatullah menjadi objek wisata baru di Aceh. Pengunjung masih kalangan wisatawan yang beragama Islam. Yang dari luar negeri kebanyakan wisatawan dari Malaysia. Mereka datang perorangan maupun berombongan. Sebulan rata-rata 100–200 orang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya