Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah semakin merosot di kisaran 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) diminta segera menaikkan suku bunga acuan, sementara pemerintah perlu merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ekonom Maybank Indonesia Juniman menilai, pelemahan rupiah sudah terjadi sejak BI memangkas suku bunga acuan atau 7-day Reverse Repo Rate sebanyak dua kali pada Agustus dan September tahun lalu dari 4,75 persen menjadi 4,25 persen.
"Sejak memotong suku bunga dua kali di tahun lalu, sudah terjadi capital outflow (dana keluar). Rupiah melemah, dan itu artinya investor tidak mau suku bunga rendah," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Sementara tren saat ini, diakui Juniman, negara-negara maju dan berkembang cenderung menaikkan suku bunga acuannya dibanding ke arah menurunkan. Kondisi tersebut berbeda dengan tahun lalu.
"Selisih suku bunga BI dengan suku bunga AS semakin menyempit. Jadi, suka tidak suka, menaikkan suku bunga menjadi pilihan logis buat BI untuk menahan pelemahan rupiah," dia menjelaskan.
Juniman menambahkan, kenaikan suku bunga acuan merupakan instrumen paling efektif menahan mata uang rupiah semakin terpuruk lebih dalam.
"Kalau naik (suku bunga acuan) di bulan ini, maka capital outflow bisa tertahan dan ada peluang rupiah bisa menguat lagi setelah investor sudah price in ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed bulan depan," tuturnya.
Untuk diketahui, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) tiga bulanan pada 16-17 Mei 2018.
Juniman memperkirakan BI akan menaikkan 7-day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 basis poin pada rapat tersebut. Dia beralasan, interbank rate sudah berada di level 4,5 persen pada satu pekan ini atau di atas suku bunga acuan BI.
"Saya kira gradual (BI naikkan suku bunga) 0,25 basis poin. Karena pasar sudah price in, BI akan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga acuan adalah keputusan paling rasional untuk menahan pelemahan rupiah lebih lanjut," saran dia.
Revisi APBN
Sementara itu, pemerintah pun diminta tidak berpangku tangan meski kebijakan menstabilkan rupiah merupakan wewenang BI.
Juniman mengharapkan pemerintah segera merevisi APBN 2018. Pasalnya, beberapa asumsi makroekonomi Indonesia tahun ini sudah meleset dari target. Di antaranya nilai tukar rupiah yang dipatok 13.400 per dolar AS, dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) diasumsikan US$ 48 per barel.
"Pemerintah harus revisi APBN 2018 di Juli supaya bujet lebih kredibel karena rupiah dan harga minyak sudah di atas APBN," terangnya.
Dengan demikian, kata Juniman, investor akan kembali melirik Indonesia untuk menanamkan modalnya.
"Kalau bujet kredibel, fiskal jadi lebih baik, investor bisa percaya dan balik lagi ke Indonesia. Jadi sebaiknya revisi supaya kredibel," pintanya.
Advertisement
Bisa Menguat
Dengan dosis kebijakan moneter yang tepat dari BI dan fiskal oleh pemerintah, maka Juniman optimistis mata uang Garuda akan menguat, meski sulit untuk kembali berada di bawah 14.000 per dolar AS.
"Tergantung langkah BI ya. Kalau bisa menaikkan suku bunga acuan, rupiah bisa menguat," paparnya.
Dia memproyeksikan, kurs rupiah masih akan berada di kisaran 14.000 per dolar AS sampai Juni ini.
"Bisa menguat di kuartal III dan IV. Tapi kalau pun melemah, paling banter 14.500 per dolar AS. Tidak akan ke mana-mana lagi," tutup Juniman.