Rupiah Terkapar, BI Siap Naikkan Suku Bunga Acuan

BI membuka ruang untuk menaikkan suku bunga acuan untuk menahan pelemahan rupiah.

oleh Septian Deny diperbarui 08 Mei 2018, 18:15 WIB
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara. (Yayu Agustini Rahayu Achmud/Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuan atau 7-day Reverse Repo Rate. Upaya ini sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terus melemah hingga tembus 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS)

Deputi Gubernur Senior BI Mizra Adityaswara mengatakan, hal tersebut akan dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada pertengahan bulan ini.

"BI kan sudah sampaikan bahwa nanti di RDG tanggal 16-17 Mei ada RDG bulanan untuk tentukan stance kebijakan moneter," ujar dia di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Mirza mengungkapkan, dalam memutuskan kenaikan suku bunga acuan, BI akan melihat data-data yang ada, mulai dari inflasi hingga pergerakan arus modal global. Kebijakan bank sentral AS juga akan dijadikan bahan pertimbangan.

"BI akan melihat data inflasi, ekspor impor, neraca pembayaran. Tentu kita juga lihat bagaimana arus modal di dunia, kita juga lihat bagaimana arah kebijakan AS yang akan naik Juni," kata dia.

Selain itu, BI juga akan melihat bagaimana pergerakan suku bunga acuan di negara lain. Diakui Mirza, saat ini sejumlah negara telah menaikkan suku bunganya sebagai respon atas kebijakan bank sentral AS.

"Juga suku bunga negara tetangga. Malaysia naik, Korea naik, Australia naik. Nanti kita akses. Kalau memang diperlukan kenaikan suku bunga, ya kita harus melakukan adjusment," ungkap dia.

Dengan upaya yang dilakukan BI serta adanya langkah dari pemerintah, Mirza berharap nilai tukar rupiah bisa kembali menguat, di bawah 14.000 per dolar AS.

"(Rupiah bisa di bawah 14.000?) Bisa," tandas dia.


Rupiah Diprediksi Bisa Tembus 14.200 per Dolar AS

Rupiah Melemah (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir Mei 2018. Bahkan masih terbuka peluang rupiah terdepresiasi hingga 14.000-14.200 per dolar Amerika Serikat (AS).

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah.

Pertama, para investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan suku bunga Bank Central Amerika Serikat (AS) pada rapat FOMC Juni mendatang. Hal ini juga setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9 persen terendah bahkan sebelum krisis 2008.

"Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp 11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Kedua, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2018 yang hanya mencapai 5,06 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok -2,8 persen di kuartal I 2018 dan data penjualan ritel yang turun.

"Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen," ungkap dia.

Ketiga, harga minyak mentah terus meningkat hingga USD 74-USD 75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China.

Hal ini membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga BBM nonsubsidi seperti Pertalite dan Pertamax menyesuaikan mekanisme pasar.

"Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam satu bulan terakhir," kata dia.

Keempat, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar merupakan investor asing, sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.

Kelima, Importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek.

"Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap perilaku pengusaha yang borong dolar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs," dia menjelaskan.‎

Keenam, defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1 persen terhadap PDB. "Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik," tutur dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya