Liputan6.com, Ciamis - Dua buah harimau hitam dan putih menjadi penunggu abadi di pintu masuk area tempat ziarah Situ Lengkong, Panjalu, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Konon dua patung hewan buas itu, jelmaan dua anak raja Brawijaya, kerajaan Majapahit, yang tersesat di sana, namun melanggar aturan. Akhirnya berubah wujud menjadi raja hutan penunggu hutan Panjalu Ciamis, hingga kini. Ciamis
"Silahkan rombongan dari Garut yang akan ziarah ke makam segera menaiki perahu," ujar Eman Samsudin, 21, petugas jaga perahu gayuh di Situ Panjalu, Ciamis, memanggil rombongan asal Garut, Jawa Barat, Senin pagi (7/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Area makam ziarah tempat Prabu Hariang Kencana atau Borosngora atau Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar, seorang ulama penyebar agama Islam di wilayah itu bersemayam, memang berada di kawasan hutan lebat seluas 57 hektare.
Pengunjung yang akan tirakat, bersemedi atau sekadar refreshing menikmati suasana tengah hutan yang teduh dan asri, wajib melewati situ (danau) Lengkong seluas hampir 40 hektar tersebut.
"Airnya sangat bening dan jernih sekali," ujar Cecep, koordianator rombongan pondok pesantren Sadang Lebak, Wanaraja, Garut ini, membuka pembicaraan.
Satu buah perahu kayu menggunakan kayuh, tarif Rp 250 ribu untuk 25 penumpang, siap mengantarkan perjalanan spiritual seluruh pengunjung yang akan menikmati liburan di sana. Sebuah harga yang terbilang murah dengan sajian alam yang indah nan rindang tersebut.
"Yang mau berfoto pun bisa, silakan, kebetulan matahari baru muncul," ujar Heri penarik perahu, sambil mengayuh pedal kayuh perahu kayu itu.
Pelayaran yang pelan nyaris tanpa gelombang, sekitar 150 orang rombongan asal kota dodol yang terbagi dalam lima perahu tersebut, tampak asyik menikmatinya. Bahkan, sesekali terdengar alunan bacaan sholawat badriyah dari mulut mereka.
Akhirnya setelah pelayaran singkat 20 menit mengitari situ usai, rombongan sampai juga di darmaga kecil tempat sandaran perahu, sekaligus untuk menurunkan pengunjung.
"Hati-hati dengan barang bawaannya jangan tertinggal," ujar Heri mengingatkan pengunjung.
Sambil menunggu rombongan lainnya tiba, keceriaan pengunjung yang didominasi para santri itu pun pecah. Mereka berfoto ria, sambil sesekali diselimuti canda tawa, mereka seakan puas menikmati suguhan view alam hutan hijau nan lebat yang memanjakan mata.
"Sayang kalau ke sini tidak naik rakit," kata Cecep menambahkan dengan bangganya.
Menjelang Ramadan, Kunjungan Melonjak
Tiba di dermaga mini, rombongan langsung disambut dua ekor harimau hitam dan putih di pintu masuk. Tak ketinggalan puluhan anak tangga siap mengantarkan seluruh pengunjung hingga ke area makam tempat berjiarah.
"Di sini makam Prabu Hariang Kencana Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar," ujar Usup Sanudi, 48 tahun, kuncen pintu masuk makam menyambut para pengunjung yang datang.
Sebelum memasuki makam, pengunjung yang berhadas dianjurkan berwudu dulu. Tak lupa sebuah petunjuk mengingatkan agar memohon seluruh hajatnya hanya kepada Allah.
"Ingat jangan salah niat," ujar KH Aceng Hasan, pembimbing rombongan itu meyakinkan.
Usup menyatakan, dua bulan terakhir atau tepatnya saat bulan Rajab, Sa'ban hingga bulan suci Ramadan, jumlah kunjungan naik signifikan dibanding hari biasa di luar dua bulan itu.
Dalam sehari rata-rata kunjungan mampu menembus angka 2.000 orang atau tiga kali lipat lebih banyak dibanding hari biasa yang hanya 500 orang. Hingga kini pengunjung masih didominasi peziarah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Upacara Adat Nyangku
Salah satu kebudayaan masyarakat Panjalu, Ciamis, Jawa Barat yang masih lestari hingga kini adalah upacara adat sakral Nyangku, sebuah ritual upacara adat pemandian benda pusaka yang dilaksanakan pada setiap bulan Rabiul Awal atau maulud setiap tahunnya.
Istilah Nyangku diduga berasal dari bahasa Arab 'yanko' yang berarti membersihkan, hingga akhirnya berubah dalam dialek lidah orang sunda menjadi nyangku. Makna dilaksanakannya upacara adat ini, menghormati peninggalan pusaka leluhur, atas jasanya menyebarkan agama Islam di wilayah itu.
Untuk mempersiapkan perlengkapan upacara, konon zaman dahulu, semua keluarga keturunan Panjalu akan menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Selanjutnya beras ini digunakan sebagai bahan untuk membuat tumpeng dan sasajen.
Ritual Nyangku diawali dengan berziarah ke makam raja di Situ Lengkong, Panjalu. Kemudian dilanjutkan dengan pencucian benda pusaka peninggalan raja. Kemudian seluruh benda pusaka yang didominasi perkakas dan senjata perang tempo dulu, dikeluarkan dan 'dimandikan' dari museum bumi alit dan situ Panjalu yang jaraknya berdekatan.
Belakangan air bekas pencucian kerap menjadi incaran peziarah atau pengunjung yang sengaja ingin mendapatkan keberkahan hidup. Mereka rela berdesakan hanya demi mendapatkan air sisa basuhan tersebut. Sebuah kegiatan yang mesti dibarengi keyakinan kepada Alloh, jika tidak ingin menjadi perbuatan sirik.
Selain menghormati leluhur, kegiatan dalam ritual maulid nabi Muhammad SAW tersebut, juga bertujuan menyebarkan agama Islam, sekaligus sarana silaturahmi antarwarga. "Intinya dari upacara Nyangku adalah membersihkan diri dari yang dilarang agama Islam," ujar Usup.
Advertisement
Sejarah Situ Lengkong Panjalu
Berdasarkan cerita turun-temurun masyarakat sekitar, terbentuknya situ atau danau Panjalu bukan murni pengaruh alam semata. Namun, konon ada campur tangan kekuatan supranatural Prabu Borosngora, salah satu raja Galuh Panjalu yang telah masuk islam.
Syahdan, sang prabu yang baru belajar ilmu agama dan ilmu kesaktian sebagai bekal dalam menyebarkan agama Islam, diminta Prabu Lembu Sempulur II yang tak lain ayahnya, untuk membawakan air zam-zam dan pedang bersamaan dalam sebuah gayung tanpa tumpah sedikit pun.
Akhirnya, permintaan tersebut dilaksanakan dengan sempurna Borosngora. Saat ditumpahkan ke dalam danau Panjalu, ada beberapa tetes air yang berserakan hingga akhirnya berubah menjadi nusa atau pulau kecil di tengah danau.
Walhasil, satu nusa yang terbentuk akhirnya dibangun sebuah keraton besar yang di dalamnya terdapat lokasi Kepatihan dan Paseban Keraton. "Inilah salah satu bukti kekayaan masa kerajaan Galuh Panjalu yang masih ada," ujar Usup menunjukkan hutan lebat, sebuah nusa yang konon terbentuk dari air zam-zam yang dibawa sang Prabu.
Cerita Harimau Hitam dan Putih Penunggu Situ Panjalu
Mitos Maung Panjalu berasal dari cerita babad Panjalu. Alkisah, seorang putri kerajaan Pajajaran bernama Dewi Sucilarang dipinang oleh seorang pangeran dari Majapahit bernama pangeran Gajah Wulung putra Brawijaya hingga akhirnya mengandung. Namun tampaknya sang putri tidak kerasan tinggal di Majapahit hingga akhirnya izin pulang untuk melahirkan di istana kerajaan Pajajaran.
Dalam perjalanan pulang itulah, tepatnya di kawasan hutan Panumbangan yang masuk wilayah Kerajaan Panjalu, kerajaan kecil di bawah kekuasaan Pajajaran, sang putri melahirkan sepasang anak kembar. Bayi laki-laki dinamai Bongbang Larang dan yang perempuan dinamakan Bongbang Kancana. Sementara ari-ari kedua bayi dimasukkan ke dalam sebuah pendil tanah liat dan diletakan di atas sebuah batu besar.
Usia bertambah, saat beranjak dewasa, kedua putra mahkota itu mulai bertanya siapa ayah sesungguhnya, hingga akhirnya mengelana mencari ayaknya ke kerajaan Majapahit. Dalam perjalanan di tengah hutan Panumbangan, kedua putra mahkota mengalami rasa haus tak terkira, hingga akhirnya melihat pendil berisi air yang merupakan ari-ari mereka saat dilahirkan tempo hari.
Saat minum itulah, kaajaiban muncul menimpa Bongbang Larang ketika kepala Pendil tiba-tiba membesar dan mencaplok kepala Bongbang Larang sehingga tidak bisa dilepas. Bingung dengan kejadian yang menimpa kakaknya, sang adik, Bongbang Kencana mencari pertolongan hingga bertemulah dengan Aki Garahang, pendeta Hindu bergelar Pandita Gunawisesa Wiku Trenggana untuk melepaskan kepala Pendil itu.
Akhirnya dengan menggunakan senjata kujang, Pendil terbelah dua. Konon dari pecahan itulah kemudian membentuk sebuah selokan yang dinamai Cipangbuangan dan kolam dinamakan pangbuangan yang konon tidak boleh digunakan untuk kepentingan apa pun.
Namun saat keduanya ditinggal pergi Aki Garahang, yang selama ini merawatnya sebelum melanjutkan perjalanan ke kerajaan Majapahit, kedua putra mahkota itu diam-diam mendatangi kolam pangbuangan yang sangat indah dan jernih tersebut.
Melihat hal itu, Bongbang Larang tak sabar hingga akhirnya menceburkan diri ke dalam kulah itu untuk berenang, sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan wajah sambil merendamkan kedua kakinya. Betapa terkejutnya saat naik ke permukaan air, keduanya berubah wujud menjadi harimau sebagai ganjaran bagi mereka yang melanggar aturan yang disampaikan sang pendeta.
Tertarik mengunjungi situs sejarah di Ciamis ini, silakan siapkan kunjungan wisata berkeluarga untuk menambah khazanah sejarah.
Advertisement