Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, masih mematangkan persiapan Indonesia masuk dalam keanggotaan Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) atau organisasi anti pencucian uang.
"FATF kita sedang lakukan evaluasi dan nanti akan mereka (FATF) akan menetapkan dari hasil evaluasinya. Selama ini komunikasi nya cukup baik dan mereka menganggap (Indonesia) udah ada banyak kemajuan," ungkap Sri Mulyani di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Advertisement
"Pada bulan Juli akan ada penetapan dari hasil evaluasi dan nanti bulan November kita akan umumkan akan menjadi tahapan nya adalah observersi sebelum menjadi member," lanjut Ani sapaan akrab Sri Mulyani.
Sebelumnya, Presiden FATF Santiago Otamendi beserta jajarannya berkunjung ke Kantor Kementerian Keuangan.
Dari informasi yang diterima oleh Merdeka.com, pertemuan tersebut berlangsung secara tertutup bersama dengan Menkeu Sri Mulyani. Turut hadir dalam pertemuan, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin.
Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin, mengungkapkan, kedatangan Presiden FATF bertujuan untuk melihat kesiapan Indonesia dalam keikutsertaan pada FATF.
"Kita mau jadi anggota FATF, Kita jadi anggota, jadi dia mau melihat mau mengecek apakah siap apa tidak. Itu tujuannya," ungkap Kiagus usai melangsungkan pertemuan di Gedung Kementerian Keuangan.
Untuk diketahui, Proses keanggotaan Indonesia di FATF sendiri mulai dibahas pada Sidang Pleno FATF yang bertempat di Argentina, Oktober 2017.
Aplikasi Indonesia menjadi bagian dari FATF memiliki arti strategis, karena FATF adalah suatu forum kerja sama antar negara yang bertujuan menetapkan standar global rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta hal-hal lain yang mengancam sistem keuangan internasional.
Peran Indonesia
Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi besar dunia, yang juga merupakan anggota G-20, sudah selayaknya berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis yang dapat menentukan sistem keuangan internasional.
Hal-hal yang menjadi nilai positif Indonesia antara lain adalah kemajuan signifikan dalam aspek regulasi, koordinasi dan implementasi dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kemajuan Indonesia dinilai signifikan karena telah memiliki Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, maupun penerbitan Peraturan Bersama mengenai Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.
Pengalaman dan kapasitas Indonesia dalam isu ini dipercaya dapat memberi nilai tambah yang signifikan bagi FATF beserta anggotanya dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Di tingkat internasional, Indonesia adalah anggota aktif dalam The Egmont Group yang merupakan wadah bagi unit intelijen keuangan di seluruh dunia, juga Asia-Pacific Group on Money Laundering (APG) sebagai FATF-Style Regional Bodies di kawasan Asia Pasifik.
Selain itu, Indonesia juga menggiatkan serangkaian kerja sama dengan unit intelijen keuangan negara lain, antara lain dalam memberikan sumbangsihnya bagi komunitas internasional dengan menyusun Regional Risk Assessment on Terrorism Financing, yang merupakan assesmen pendanaan terorisme untuk kawasan regional pertama di dunia.
Berbagai kontribusi lainnya antara lain menginisiasi National Risk Assessment on Money Laundering/Terrorist Financing, dan menyusun AML/CFT Perception Index yang pertama di dunia.
Advertisement