Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak merosot pada perdagangan Kamis karena aksi ambil untung dari investor pada saat harga minyak reli. Dipicu kekhawatiran terhadap pasokan minyak dari eksportir utama Iran dalam menghadapi sanksi Amerika Serikat (AS).
Pelaku pasar cemas tentang produksi minyak mentah dari Venezuela akan turun lebih lanjut.
Melansir dari Reuters, Jumat (11/5/2018), harga minyak mentah Brent berjangka turun 8 sen ke posisi USD 77,13 per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) susut satu sen ke posisi USD 71,13 per barel.
Baca Juga
Advertisement
Pada Selasa lalu, setelah cabut dari perjanjian nuklir Iran, Amerika Serikat juga menyatakan berencana menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran.
"Ketika kami mencerna berita penarikan dari kesepakatan nuklir, ada jeda enam bulan bisa mempengaruhi pasokan. Pasar siap menghadapi level (harga minyak) yang lebih tinggi," kata Wakil Presiden Penelitian di Tradition Energy, Gene McGillian.
Jika AS menarik diri, Eropa masih bertahan pada kesepakatan nuklir Iran. Seperti Kanselir Jerman Angela Merkel yang mendukung perjanjian tersebut.
"Eropa dan China tidak akan melawan sanksi AS. Kami yakin batas ekspor 1 juta barel minyak per hari akan diterapkan kembali (sanksi sebelumnya)," ucap Pendiri Konsultan Energi FGE Fereidun Fesharaki.
Harga minyak mentah Brent diprediksi bisa kembali menyentuh posisi USD 100 per barel pada tahun depan. Bank of America memperkirakan, penurunan output Venezuela dan risiko terhadap ekspor minyak mentah Iran akan mengerek rata-rata harga minyak Brent ke level USD 70 per barel tahun ini dan USD 75 pada 2019.
Selanjutnya
Selain itu, Arab Saudi siap untuk mengimbangi kekurangan pasokan minyak mentah. Akan tetapi, negara tersebut tidak akan bertindak sendirian.
Negara-negara pengekspor minyak (OPEC) tidak terburu-buru memutuskan apakah akan memompa lebih banyak produksi minyak untuk mengimbangi penurunan ekspor dari Iran.
"Apa dampaknya ke Iran masih sulit diperkirakan," ujar Ahli Strategi Petromatrix, Olivier Jakop.
Dalam laporan bulanannya pada Selasa lalu, Administrasi Informasi Energi (EIA) telah menaikkan perkiraan output AS menjadi 12 juta barel per hari pada akhir 2019. Ini akan menjadikan AS sebagai produsen terbesar di dunia mengungguli Rusia dan Arab Saudi.
Advertisement