Ahli: Ini 5 Kesalahpahaman Terkait Kebijakan Trump soal Yerusalem

Menurut Miller, terdapat sejumlah kesalahpahaman dalam menyikapi isu Yerusalem.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 11 Mei 2018, 15:10 WIB
Ilustrasi Yerusalem (iStock)

Liputan6.com, Washington, DC - Pada Senin, 14 Mei 2018, Israel akan memperingati 70 tahun eksistensinya. Bertepatan di hari itu pula, Amerika Serikat akan meresmikan kedutaan besarnya di Yerusalem.

Keputusan untuk memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang diambil pemerintahan Donald Trump, telah menghancurkan kebijakan AS selama beberapa dekade.

Berdasarkan Jerusalem Embassy Act of 1995, produk hukum yang disahkan pada 23 Oktober 1995, pemerintah AS diharuskan memindahkan kedubes mereka ke Yerusalem. Namun, selama beberapa dekade, langkah tersebut berhasil "dihindari".

Mulai dari Presiden Bill Clinton, Bush Jr, hingga Barack Obama, semuanya menolak untuk memindahkan misi diplomatik AS ke Yerusalem. Pertimbangan mereka adalah keamanan nasional AS.

Selain itu, Yerusalem merupakan isu yang sangat sensitif dalam konflik kedua negara. Pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem akan mencabut status AS sebagai mediator damai mengingat status Yerusalem sebagai ibu kota negara tidak hanya diakui oleh Israel, tapi juga Palestina.

Rangkaian proses pemindahan Kedubes AS ini didahului oleh pengakuan Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel pada Desember 2017.

Secara politis, pemindahan misi diplomatik AS ke Yerusalem ini dikelilingi oleh sejumlah kesalahpahaman. Berikut lima di antaranya berdasarkan pandangan Aaron David Miller, seorang negosiator untuk Timur Tengah pada pemerintahan Demokrat dan Republik, seperti dikutip dari CNN, Jumat (11/5/2018).

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Strategi Perdamaian Versi Trump?

Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump (AP Photo/Evan Vucci)

1. Membunuh Proses Perdamaian

Faktanya, saat Trump mulai membuat pernyataan tentang Yerusalem dan rencana pemindahan Kedubes AS ke sana, proses perdamaian nyaris membeku.

Negosiasi penting antara kedua pihak sudah tidak pernah berlangsung selama bertahun-tahun. Jurang antara Israel dan Palestina dalam seluruh isu utama, termasuk perbatasan, pengungsi, keamanan, dan khususnya Yerusalem semakin lebar.

Pada 2017, prospek kemajuan terkait solusi dua negara sangat rendah. Pemindahan ke Yerusalem membuat misi yang tadinya mustahil menjadi jauh lebih tidak mungkin. Dalam prosesnya, kredibilitas dan efektivitas AS sebagai mediator, rusak.

 

2. Pemindahan Kedubes AS Bagian dari Strategi Perdamaian

Ketika mengumumkan pengakuan resminya akan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sekaligus menandai awal proses pemindahan Kedubes AS, Trump mengatakan, "Hari ini, akhirnya kita mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini tidak lebih dari sekadar pengakuan akan realitas. Ini juga hal yang tepat untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan."

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa pengakuan terhadap Yerusalem adalah "sebuah langkah terlambat untuk memajukan proses perdamaian."

Klaim Trump soal pengakuan Yerusalem akan memajukan proses perdamaian patut dipertanyakan. Pernyataan dan tindakannya soal Yerusalem secara konsisten mencerminkan motivasi pribadi dibanding kepentingan nasional AS atau negosiasi.

Trump yang bertekad tampil berbeda dari para pendahulunya soal Israel dianggap ingin menenangkan pendukungnya, termasuk konstituen yang berasal dari kalangan evangelis.

Sedari awal masa jabatannya, Trump menghujani Israel dengan sejumlah "hadiah". Di antaranya memasukkan Israel dalam daftar negara pertama yang dikunjunginya usai dilantik, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan melancarkan tekanan melawan Palestina dengan mengurangi kontribusi bagi pengungsi Palestina serta menempatkan pembatasan pada kantor PLO di Washington.


Demonstrasi Besar Akan Warnai Peresmian Kedubes AS?

3. Keputusan Trump Tidak Mengubah Status Yerusalem

Pejabat pemerintahan AS bersikeras bahwa kebijakan terkait Yerusalem tidak mengubah apa pun, status, dan batas-batas Yerusalem masih harus dinegosiasikan antara Israel dan Palestina. Sulit menerima argumen tersebut, ketika plakat di kedubes baru AS bertuliskan, "Yerusalem, Israel."

Selama ini, Israel mengklaim kontrol dan kedaulatan di kedua wilayah, baik Yerusalem Timur maupun Yerusalem Barat. Pemerintahan Trump juga tidak menentang klaim tersebut atau berusaha mengkritik rencana ambisius Israel untuk membangun di wilayah Palestina serta memastikan bahwa Yerusalem adalah kota yang tidak terbagi.

Aaron David Miller, seorang negosiator untuk Timur Tengah pada pemerintahan Demokrat dan Republik menerangkan, "Dalam kapasitas saya sebagai negosiator Timur Tengah, saya telah berinteraksi dengan Netanyahu selama bertahun-tahun, dan tampaknya sangat tidak mungkin perdana menteri akan menyerahkan kontrol (Yerusalem) kepada Palestina."

Ia menambahkan, "Laporan bahwa pemerintahan Trump akan menyerahkan sejumlah wilayah di Yerusalem Timur ke Palestina tidak akan secara substansial mengubah persepsi atau kenyataan."

 

4. Demonstrasi Besar Dipicu Peresmian Kedubes AS

Demonstrasi besar disebut-sebut akan mewarnai momen peresmian Kedubes AS di Yerusalem. Namun, sebenarnya menurut Miller, aksi protes yang kemungkinan terjadi belum tentu terkait isu tersebut.

Sekitar enam pekan terakhir, Hamas, kelompok yang mengontrol wilayah Gaza, telah mengoordinasikan demonstrasi besar di sepanjang perbatasan Israel-Gaza. Puncak aksi akan jatuh pada Hari Nakba, yakni peringatan terusirnya bangsa Palestina sekaligus berdirinya Israel. Sejauh ini, aksi protes dilaporkan belum menyebar ke Tepi Barat atau Yerusalem.

Namun, tidak menutup kemungkinan demonstrasi besar-besaran akan mewarnai peresmian Kedubes AS di Yerusalem. Lazimnya, aksi yang diikuti dengan kekerasan serius terjadi ketika menyangkut dengan situs-situs suci.

Reaksi Palestina soal kebijakan Yerusalem yang diambil Trump dinilai relatif terkendali.

 

5. Trump Mengesampingkan Isu Yerusalem

Miller menilai, itu tidak benar. Sejumlah pejabat pemerintahan AS, termasuk Trump, menyatakan bahwa dalam mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel atau memindahkan kedubes akan mengarah pada hasil yang positif.

Bukannya mengesampingkan, Trump justru telah membawa isu ini tepat di tengah meja, di antara Palestina dan Israel, baik mereka siap atau tidak menghadapinya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya