Ribuan Orang Maasai Diusir untuk Kepentingan Wisata Safari

Wisata safari menjadi sumber pendapatan penting untuk membiayai anggaran pembangunan di Tanzania.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 11 Mei 2018, 17:20 WIB
Seekor bayi macan tutul berusia satu minggu diasuh singa betina berusia lima tahun di Kawasan Konservasi Ngorongoro di Tanzania, 11 Juli 2017. Singa bernama Nosikitok itu terlihat menyusui bayi macan tutul. (Joop van der Linde/Ndutu Safari Lodge via AP)

Liputan6.com, Dodoma - Puluhan ribu penduduk suku Maasai di Tanzania kehilangan tempat tinggal, setelah pemerintah membakar wilayah pemukimam mereka, dengan dalih memperluas padang rumput untuk kepentingan wisata safari.

Dikutip dari Time.com pada Jumat (11/5/2018), penduduk desa di wilayah Loliondo di utara Tanzania, dekat kawah pariwisata Ngorongoro, sempat mengalami penggusuran pada tahun lalu.

Menurut laporan Oakland Institute, sebuah lembaga penelitian lingkungan yang berbasis di California, penduduk Maasai menolak imbauan pemerintah Tanzania untuk merelakan sebagian akses menuju sumber air.

"Karena pariwisata menjadi salah satu sektor yang tumbuh paling cepat dalam skema ekonomi Tanzania, mendorong bermunculannya area safari dan taman bermain, yang berdampak pada kerusakan kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Maasai," kata Anuradha Mittal dari Oakland Institute.

"Tapi ini bukan hanya tentang perusahaan tertentu, melainkan realitas yang sudah sering menimpa masyarakat pribumi di seluruh dunia."

Dalam beberapa tahun terakhir, tudingan telah dialamatkan pada Tanzania Conservation Limited, afiliasi dari Thomson Safari's yang berbasis di Amerika Serikat, dan Ortello, kelompok yang mengatur perjalanan berburu untuk keluarga kerajaan Uni Emirat Arab.

Tuduhan tersebut merujuk pada fakta bahwa penggembala muda Maasai begitu takut pada pihak berwenang, dan kerap "melarikan diri ketika mereka melihat kendaraan mendekat".

"Mereka kemungkinan berpikir bahwa kendaraan yang datang membawa perwakilan pemerintah dan perusahaan safari asing, sehingga sulit bagi kami untuk mendekatinya, dan memberi pendampingan hukum," tulis laporan Oakland Institute.

Menanggapi temuan itu, Thomson Safaris mengatakan "tuduhan penyalahgunaan yang mengerikan itu tidak benar."

Menurut Rick Thomson, direktur Thomson Safari’s melalui email yang dikirim pada Kamis, 10 Mei 2018, perusahaan itu berinvestasi di Tanzania dengan iktikad baik.  

 

Simak video pilihan berikut:

 

 


Bisa Memicu Kepunahan Budaya Maasai

Sunset Tanzania, Afrika (iStockphoto)

Kepedulian tehadap eksistensi masyarakat suku Maasai kian mendapat perhatian luas dari para kelompok pembela HAM di tingkat regional dan internasional, seperti Minority Rights Group International dan Survival International, yang telah memeringatkan bahwa dugaan perampasan tanah "bisa memicu punahnya kebudayaan Maasai" di Afrika.

Suku Maasai merupakan kelompok pengembala yang mendiami kawasan padang rumput di bagian selatan Kenya dan bagian utara Tanzania.

Namun, wilayah jelajah mereka berbatasan dengan Taman Nasional Serengeti, yang terkenal sebagai koridor satwa liar paling populer di Tanzania.

Wisata safari menjadi sangat penting bagi pemerintah Tanzania, karena menyokong sumber pendapatan untuk membiayai anggaran negara yang terletak di wilayah timur Afrika tersebut.

"Pemerintah telah memprioritaskan kelompok-kelompok safari dengan mengorbankan masyarakat adat," kata Hellen Kijo-Bisimba, kepala Pusat Legal dan Hak Asasi Manusia Tanzania.

"Pemerintah telah meninjau batas-batas dan kemudian mengusir masyarakat atas nama konservasi," lanjutnya kepada The Associated Press.

"Dalam pemahaman saya, konservasi seharusnya dibuat untuk memberi manfaat kepada orang-orang, dan jika orang-orang terpengaruh, maka hal itu menuntut kekhawatiran. Komunitas Maasai memang menderita."

Pengadilan di Agusha, pusat kota terdekat dari wilayah pemukimam suku Maasai, pernah memenangkan Thomson Safari’s ketika bertarung di meja hijau pada 2015.

Kala itu, tanah seluas 10.000 acre (sekitar 4.046 hektar) berhasil dikuasai oleh Thomson Safari’s, dari total luas wilayah sengketa 12.617 acre (sekitar 5.105 hektar).

Perwakilan hukum masyarakat adat Maasai sempat naik banding, namun setelah melewati beberapa persidangan, pembahasan kasus tersebut ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya