Rupiah Terus Melemah, Sektor Usaha Apa yang Rentan?

Sektor usaha apa yang paling terkena dampak dari pelemahan rupiah?

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 11 Mei 2018, 19:00 WIB
Rupiah Melemah

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar Rupiah terus tertekan. Pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masuk ke zona 14.000. Bidang usaha apa yang paling terkena dampak jika kurs rupiah terus melemah terhadap dolar AS?

Mulai Selasa pekan ini (8/5/2018), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di zona Rp 14.000. Berdasarkan kurs referensi di Bank Indonesia, rupiah diperdagangkan di level Rp 14.036 per dolar AS. Sehari sebelumnya masih di level Rp 13.956 per dolar AS.

Di Bank BCA, rupiah juga ditransaksikan di level Rp 14.000. Kurs jual Rupiah di BCA masing-masing Rp 14.046 (e-rate) dan Rp 14.200 di konter. Kurs e-rate digunakan untuk transaksi secara online melalui e-banking.

Di konter valuta asing, nilai tukar rupiah bahkan telah mencapai Rp 14.000 per dolar AS sejak sepekan lalu. Maklum konter valas biasanya lebih cepat bergerak naik dibandingkan konter bank.

Rupiah melemah terhadap dolar karena para investor di bursa saham dan pasar utang pemerintah menjual kepemilikan mereka. Saat itu mereka melepas rupiah dan mengoleksi dolar AS. Sebab itulah dolar AS menguat, dan sebaliknya rupiah melemah.

Para investor tersebut, umumnya asing, mencari peruntungan baru di AS yang dinilai lebih menarik karena suku bunga acuan akan dinaikkan sebanyak tiga kali dalam tahun ini. Namanya saja negara dengan peraturan devisa bebas, Indonesia tidak bisa berbuat banyak menghalangi investor asing yang berbondong-bondong memindahkan aset keuangannya.

Belum lagi permintaan perusahaan terhadap dolar AS untuk membayar utang kepada lembaga keuangan di luar negeri. Perusahaan tersebut tentu akan mengoleksi dolar dan melepas rupiahnya. Rupiah pun semakin melemah di hadapan Paman Sam (dolar AS).

Bukan pertama kali

Pelemahan nilai tukar rupiah ke zona Rp 14.000 per dolar AS sebenarnya tidak terjadi kali ini saja. Sebelumnya, tiga tahun lalu, tepatnya pada 29 September 2015, nilai tukar rupiah tersungkur hingga Rp 14.728 per dolar AS, melemah dari Januari 2015 yang masih Rp 12.474 per dolar.

Tidak heran jika pelaku ekonomi saat ini dibayang-bayangi masa-masa krisis 1998. Maklum, saat ini, nilai tukar rupiah hanya selisih Rp 2.000 dibanding nilai tukar saat krisis 1998. Pada Juni 1998, rupiah berada di posisi Rp 16.800 per USD, nilai terburuk sepanjang catatan sejarah republik ini.

Padahal setahun sebelum krisis terjadi, tepatnya 1997, rupiah aman di angka Rp 2.400 per USD. Saat itu, pergerakan keterpurukan rupiah berlangsung cepat. Dari Rp 2.400 menjadi Rp 3.200 lalu bergerak ke level Rp 5.500 per USD.

Ketika tanda-tanda krisis muncul, rupiah langsung ambruk ke posisi Rp 15.400 per USD pada Januari 1998. Rupiah sempat mereda ke angka Rp 800 per USD pada Februari-Mei 1998. Namun, kondisi itu ternyata hanya sementara. Badai lebih besar datang dan menghantam rupiah ke level paling buruk, yakni Rp 16.800 per USD pada Juni 1998.

Perbedaannya dengan pelemahan rupiah sekarang, pelemahan rupiah terhadap dolar AS terjadi cukup lambat. Pelemahan rupiah tidak terjadi secara ekstrem sehingga para pelaku pasar dan sektor usaha masih bisa menyesuaikan.

Pelemahan kali ini lebih banyak disebabkan oleh pengaruh Amerika Serikat. Para investor asing pun mencari negara tempat beternak atas dana mereka sebagai safe haven baru. Baca juga: Promo Gojek Terbaru: GoRide, GoFood dan Layanan Gojek Lainnya.


Sektor Usaha Paling Rentan

Saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS, kamu yang berprofesi sebagai karyawan mungkin tenang-tenang saja. Berbeda halnya dengan pimpinan perusahaan: mereka akan sulit tidur karena pelemahan rupiah akan berdampak kepada keuangan perusahaan.

Jika dibiarkan terus melemah, bisa-bisa perusahaan akan gulung tikar. Pertanyaannya, sektor usaha apa yang paling terkena dampak dari pelemahan rupiah? Saat ini prosesnya masih berlangsung sehingga dampaknya belum begitu jelas diketahui. Cuma kita bisa melihat dampak pelemahan dari pelemahan rupiah yang terjadi dua puluh tahun silam.

Dari riset yang dilakukan peneliti Bank Indonesia pada 1998, secara umum disebutkan, perusahaan yang memiliki sumber daya di dalam negeri yang kuat, berorientasi ekspor, memiliki sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, mereka mampu bertahan jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sedang tertekan. Bahkan perusahaan itu tetap bisa tumbuh positif.

Berikut ini hasil riset yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan tahun 1998. Riset yang dilakukan oleh Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso terasa masih relevan hingga saat ini:

1. Industri pengolahan

Sektor ini memiliki kandungan impor yang tinggi sehingga sangat terpengaruh dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Kegiatan produksi sektor ini menjadi sangat mahal dengan kondisi rupiah yang sedang melemah. Saat bank menaikkan suku bunga kredit, sektor ini juga akan mengalami tekanan baru.

Baca juga: Paket Umroh Murah 2018 Namun Relatif Aman

 


2. Sektor bangunan/properti

Pelamahan nilai tukar rupiah diperkirakan cukup memukul sektor properti ini, bersama sektor industri pengolahan. Maklum di sektor bangunan ini banyak menggunakan bahan baku impor, terutama perlengkapan pembangunan properti, dan pinjaman non-rupiah. Tekanan dari sisi suku bunga juga cukup besar. Sebab konsumen mengerem membeli bangunan jika suku bunga bank naik.

3. Sektor perdagangan

Pelemahan rupiah cukup berpengaruh terutama pada sektor perdagangan consumer goods, barang-barang mewah, peralatan elektronik, dan barang kebutuhan lain yang puna kandungan impor tinggi. Dari sisi kenaikan suku bunga, sektor ini juga cukup rentan karena memiliki kredit perbankan untuk kegiatan usaha maupun kredit konsumsi oleh konsumen.

Dampak ke enam sektor usaha lainnya, bisa dibaca di blog HaloMoney.co.id.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya