OJK Dukung Penerapan Teknologi Finansial

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan komitmennya terhadap penerapan teknologi dalam sistem pembayaran.

oleh Andina Librianty diperbarui 14 Mei 2018, 09:01 WIB
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan komitmennya terhadap penerapan teknologi dalam sistem pembayaran. Kehadiran teknologi dinilai telah terbukti menjadi solusi bagi masyarakat, agar bisa mengakses layanan sistem pembayaran perbankan.

Indonesia saat ini memiliki 50 juta pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), tapi semuanya belum memiliki akses ke layanan sistem pembayaran perbankan.

Menurut Ketua Komisioner OJK, Wimboh Santoso, sebanyak 70 persen sektor UMKM belum terlayani dengan sistem pembayaran perbankan.

Oleh sebab itu, OJK mendukung penerapan teknologi dalam sistem pembayaran. "Padahal kehadiran teknologi telah menjadi solusi bagi masyarakat yang secara geografis masih belum terjangkau dengan layanan tersebut.

Kemampuan teknologi membuat semuanya menjadi mudah tanpa harus bertatap muka langsung," kata Wimboh dalam sesi "Excellencies Panel" pada hari kedua The 1st NextICorn International Summit di Nusa Dua, Bali, seperti dikutip dari situs web Kemkominfo, Senin (14/5/2018).

Menurut Wimboh, pemerintah dalam hal ini OJK, memiliki komitmen untuk membantu enam juta UMKM yang belum memanfaatkan teknologi, sehingga mereka bisa mendapatkan pelayanan finansial.

"Bagaimana para pemangku kepentingan ini bisa bergerak cepat ke depan. Tujuannya membuat kebijakan yang harus jelas dan bagaimana bisa memanfaatkan teknologi, khususnya memberikan keuntungan untuk konsumennya," jelasnya.

Ia pun meyakini Indonesia dapat memanfaatkan teknologi digital secara maksimal, terutama pada sektor keuangan. Selain menghadirkan layanan keuangan secara virtual, Wimboh mengatakan teknologi dapat memangkas biaya layanan dengan lebih murah, serta dapat cepat dan mudah untuk dijangkau.

Namun, Wimboh menegaskan penerapan teknologi di sektor finansial atau fintech harus memperhatikan persoalan akuntabilitas, tanggung jawab dan transparansi.

"Kerangka kerja yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah membuat suatu referensi umum. Prinsipnya semua harus berdasarkan regulasi, setiap jenis isu harus ada regulasinya. Siapa yang tanggung jawab bagaimana keterbukaannya. Kan sekarang juga hanya tinggal daftar," ungkapnya.

Wimboh juga menilai arti penting identifikasi risiko pelayanan finansial. "Fintech memang memiliki banyak manfaat, namun yang terpenting adalah bagaimana kita dapat mengidentifikasi risikonya.

Bagaimana kita bisa membuat publik paham akan risikonya, seperti gangguan teknologi dan kejatahan siber. Terutama pelanggan dan stakeholder-nya, harus paham," jelas Wimboh.


Teknologi Memperlancar Kegiatan

Sebuah iklan saat event penyelenggaraan Finspire di Jakarta, Rabu (9/11). Finspire ini diselenggarakan dalam 2 aktivitas yaitu Finspire frontrunner dan Finspire summit yang diikuti oleh 32 startup di bidang fintech. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ditambahkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, teknologi dapat membuat semua kegiatan berlangsung tanpa batas.

"Internet itu tanpa batas, kita memiliki pasar nasional, batasan, dan ketika menjadi eknomi digital maka akan tanpa batas. Melalui internet juga terbangun interaksi, dengan media sosial sangat mungkin kontak antara satu orang dengan 700 ribu yang lain," tuturnya.

Keberadaan inernet dinilai memaksa semua aktivitas ekonomi untuk masuk ke internet. Hal ini akan membuat perekonomian semakin besar.

Menurut Thomas, saat ini tidak ada pilihan lain selain bergabung dengan internet. Namun untuk membuatnya berjalan dengan baik, maka diperlukan regulasi yang tepat.

"Pak Jokowi menyatakan, kita tak punya pilihan untuk tidak bergabung dengan platform global. Tantangannya adalah soal regulasi," katanya.

(Din/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya