Kunjungi Ayah Selama Ia Masih Hidup, Jangan Sampai Menyesal Sepertiku

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri.

oleh Tim Merdeka diperbarui 14 Mei 2018, 16:30 WIB
Kalau kamu berpikir bahwa putus adalah hal yang mudah, maka lebih baik dipikirkan lagi sebelum kamu menyesal dikemudian hari. (Ilustrasi: Huffington Post)

Liputan6.com, Jakarta Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Hal yang paling berat dalam hidup ini adalah mengakui kesalahan dan memaafkan diri sendiri. Butuh jiwa yang besar untuk bisa melakukan itu. Dan aku masih harus belajar banyak.

Sebagai anak terakhir dari sebuah keluarga besar di Bangka, keputusanku untuk mengadu nasib di tanah rantau mendapat pertentangan dari kedua orangtua.  Wajar saja, selain karena aku anak perempuan, bungsu pula, aku sama sekali tidak pernah pergi keluar kota sendiri. Bahkan aku termasuk anak rumahan yang hampir tak pernah keluar rumah kecuali untuk urusan sekolah. Jadi ketika aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di pulau Jawa, ayah dan ibu sangat keberatan. Namun aku sudah bertekad.

Ilustrasi ayah dan anak (iStock)

Tahun 1997, aku mulai tinggal di Solo, Jawa Tengah. Menjadi seorang mahasiswi ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup ternama di Solo. Setelah menamatkan kuliahku, aku tidak segera kembali ke Solo sesuai janji awalku. Aku kembali memutuskan untuk bekerja di Solo dan berlanjut membina rumah tangga dengan orang Solo. Kini resmilah aku menetap di Solo.

Ayah dan ibu, lagi-lagi kubuat kecewa. Dan mereka semakin kecewa karena aku jarang sekali pulang ke Bangka. Banyak alasan yang aku kemukakan, namun semua bermuara pada keluarga baruku di Solo. Aku memiliki tiga orang anak. Semua kubesarkan sendiri, tanpa ada satu pun asisten rumah tangga. Bahkan demi totalitasku mengabdi pada suami, aku pun berhenti kerja. Murni menjadi ibu rumah tangga biasa.

Tentu terbayang banyak kerepotan yang harus aku alami. Karena menjadi seorang istri dan ibu dari tiga orang anak, ternyata sangat tidak mudah. Aku terkondisikan menjadi wanita yang serba bisa dan sempurna. Dan ini secara tidak langsung mempengaruhi keinginan ayah dan ibu agar aku sering pulang ke kampung halaman untuk bertemu mereka. Karena terkadang jauh-jauh hari memutuskan untuk pulang, tapi menjelang hari H, ada saja kejadian tak terduga. Anak tiba-tiba sakit, suami tidak mendapat izin cuti, sampai biaya pulang terpaksa terpakai untuk keperluan rumah tangga atau untuk membayar biaya sekolah anak-anak yang jumlah nya tidak sedikit. Alhasil, selama kurun waktu 10 tahun menikah, kepulanganku ke Bangka tak lebih dari hitungan 10 jari.

Aku selalu berdalih, waktu untuk anak-anak dan suami adalah prioritas utamaku. Jadi kalau pun aku ingin pulang, harus menyesuaikan waktu dengan mereka, tidak bisa tidak. Meski jauh di lubuk hati ku, aku sangat merindukan orangtua dan kampung halamanku, tapi keinginanku untuk menjadi istri dan ibu yang sempurna, yang patuh pada keluarga, mengalahkan kerinduan, hingga tak kusadari, aku menjadi sosok yang egois bagi keluarga besarku di Bangka. Akibatnya hubunganku dengan ayah dan ibu sering kali renggang, begitupula dengan saudara-saudaraku. Aku menjadi saudara yang tak mereka kenali lagi.

Namun kejadian pada 10 Desember 2017 mengubah duniaku. Ayah meninggal. Dan aku adalah satu-satu nya anak yang tak sempat bertemu ayah di kala beliau sakit, bahkan sampai dimakamkan. Aku terlambat. Bertemu ayah saat sudah terbaring di peristirahatan terakhir, di tengah rintik-rintik hujan. Aku terpuruk, Aku hancur. Dan aku mulai menyalahkan diriku sendiri bahkan menyalahkan keluarga yang kubina di Solo. Aku membenci diriku sendiri sebagai anak yang durhaka.

Ilustrasi ayah dan anak. Foto: via patheos.com

Selanjutnya aku larut dalam kesedihan yang mendalam. Minggu demi minggu hingga berganti bulan. Berat badanku turun drastis. Aku kemudian menderita penyakit infeksi paru-paru. Dan rumah tanggaku mulai goyah. Aku menjadi pribadi yang sangat tertutup. Memutuskan pergaulan dengan teman-teman, lebih banyak berdiam diri di dalam kamar. Sudah dapat dipastikan, yang paling merasakan dampak dari kesedihanku yang mendalam adalah anak-anakku sendiri. Anak-anak mulai tak terurus, prestasi mereka di sekolah merosot turun. Bahkan saat pengambilan rapor, aku mendapat teguran dari wali kelas anakku.

Tapi, Allah ternyata masih sayang padaku. Dia Yang Maha Penyayang tidak ingin membuatku larut dalam kesedihan dan membiarkan kehidupan ku hancur begitu saja. Teman-teman yang aku hindari, justru silih berganti datang mengunjungiku. Mereka tak pernah putus memberikan aku semangat, mendorongku untuk belajar ikhlas menerima kepergian ayah dan tidak menghakimi diriku lagi. Banyak sekali dukungan yang aku peroleh dari mereka, termasuk turut menjaga anak-anak ku.

Dan sebuah nasihat yang menohok, justru datang dari ustadzah Lala, wali kelas anakku. Suatu malam, beliau mengirimkan sebuah pesan di WhatsApp. Menanyakan kabarku dan anak-anak. Dan tanpa kuminta, beliau menceritakan sebuah kisah tentang dirinya. Di mana beliau pernah mengalami hal yang hampir sama denganku. Saat sibuk kuliah di luar kota, ibunya meninggal dan beliau pun tak sempat bertemu di saat terakhir. Sesal pun pernah menghinggapinya. Bahkan turut menyalahkan diri sendiri. Namun, tak lama beliau berduka sebab beliau ingin mempersembahkan nilai terbaik dan lulus secepat mungkin, untuk membuktikan jerih payahnya selama ini tidak sia-sia.

Dan yang membuatku tersadar adalah betapa ustadzah Lala mengagumiku yang menurut nya berhasil mendidik anak-anakku menjadi hafiz Qu’ran. Sangat disayangkan sekali menurut beliau, jika anak-anakku sampai terlantar. Jangan sampai aku menyesal di kemudian hari. Yang harus aku lakukan adalah mengikhlaskan kepergian ayah dan memaafkan diriku dengan cara memperbanyak ibadah dan memulai kembali hubungan dengan keluarga besarku di Bangka.

Ilustrasi ayah dan anak. (Foto: aplus.com)

Lama aku terdiam, sampai kemudian aku melakukan salat malam, yang sempat aku tinggalkan. Seusai salat, aku tak dapat menahan tangisku. Di tengah bacaan Al Quran, aku menangis sejadi-jadi ya. Aku mencoba melepas semua bebanku dan mengadu pada Allah. Sesaat ada kelegaan di relung hatiku. Dan sejak itu aku memutuskan untuk bangkit.

Aku memang salah. Dan pantas menyalahkan diriku sendiri atas kepergian Ayah. Tapi aku tak hendak mengulangi hal yang sama dengan ibu atau dengan saudara-saudara kandungku di Bangka. Perlahan, aku mulai rajin menelepon untuk memberi kabar tentang diriku dan anak-anak. Anak-anak bahkan sering menelepon ibuku. Dan dari nada suaranya, ibuku tampak senang mendengar suara anak-anakku. 

Aku bahkan menjadwal kepulanganku ke Bangka dengan lebih terencana. Jika selama ini aku selalu tergantung pada kegiatan suami dan anak-anak, kini aku harus lebih tegas. Aku bisa pulang sendiri tanpa membawa mereka serta. Di saat hari libur terutama yang banyak tanggal merah ya, aku bisa pulang sendiri ke Bangka meski hanya 2-3 hari.

Bagiku itu sudah cukup. Meski tidak lama, tapi paling tidak aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Karena sebagai seseorang yang sudah berumah tangga, aku tidak bisa melepas begitu saja tanggungjawabku pada keluarga ku sendiri.

Dan inilah aku sekarang. Merasa lebih baik setelah belajar untuk mengikhlaskan kepergian ayah, dan terutama setelah aku berhasil memaafkan diriku sendiri dengan cara yang lebih baik dan nyata.

Sumber: Vemale

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya