Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Sumber Daya Ristek Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti mengungkapkan pentingnya menulis jurnal dan karya ilmiah oleh para dosen.
Salah satunya terkait dengan dunia yang kini menuju revolusi industri 4.0. Pada revolusi industri 4.0, banyak hal dilakukan secara automatisasi dan terhubung dengan internet.
"Di era industri yang serba IoT connected, tidak hanya robot yang mengancam suami atau istri tetapi juga bisa mengancam (pekerjaan) dosen. Untuk itulah, perlu daya saing yang menonjol, inovasi perlu didorong sebab tidak ada bangsa yang maju tanpa inovasi," tutur Ghufron di di Kampus Cilandak Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta, Senin (14/5/2018).
Menurut mantan Wakil Menteri Kesehatan itu, pekerjaan dosen jika hanya sebagai pengajar bisa digantikan oleh robot, namun tidak dengan menulis jurnal ilmiah yang didasarkan atas penelitian.
Baca Juga
Advertisement
Pada revolusi industri 4.0, Indonesia akan mengalami bonus demografi. "Pekerja bisa diganti, namun bonus demografi ini akan menjadi beban atau peluang. Nah, peluang dari SDM itu tergantung dari dosen. Artinya dosen menempati satu posisi yang strategis, makanya kalau dosen tidur akan menjadi persoalan tersendiri," tuturnya.
Dalam teknologi yang mengalami perubahan begitu cepat, menurut Ghufron, dosen juga harus memiliki pertahanan diri "Kalau dosen tidak responsif dalam teknologi, tentu akan ketinggalan. Oleh karenanya dosen perlu dilengkapi mekanisme pertahanan diri," katanya.
Pertahan diri untuk dosen inilah yang disebut Ghufron sebagai 4C. 4C yang dimaksud antara lain adalah critical thinking atau berpikir secara kritis. "Jangan sampai dosen mudah tertipu atau kena hoax," ucapnya.
Ghufron juga berpesan agar dosen selalu kreatif. Selain itu, dosen juga perlu punya keahlian dalam berkomunikasi yang baik dan saling memahami.
Menurutnya, dosen perlu memiliki kemampuan kolaborasi. "Indonesia ini adalah masalah di kolaborasi, masing-masing bekerja tetapi tidak dapat berkolaborasi," ucapnya.
Publikasi Ilmiah Lebih Sedikit Pembaca
Ghufron mengakui, menulis jurnal memang dibaca oleh lebih sedikit orang ketimbang menuliskan artikel di koran. Namun dia punya penjelasan tersendiri untuk hal tersebut.
"Ada dosen bertanya kepada saya, kalau nulis jurnal dan mempublikasikannya, mahasiswa belum tentu membaca, namun kalau menulis di koran pasti akan dibaca banyak orang. Namun, saya katakan padanya bahwa ilmu itu perlu diverifikasi," tutur dia.
Gufron mengatakan, meski tak dibaca banyak orang layaknya koran, karya ilmiah atau jurnal bisa dibaca oleh kolega di bidang yang sama. "Kalau menulis koran kan yang baca masyarakat awam," tuturnya.
Advertisement
Jumlah Publikasi Ilmiah Bertambah
"Ada dosen bertanya kepada saya, kalau nulis jurnal dan mempublikasikannya, mahasiswa belum tentu membaca, namun kalau menulis di koran pasti akan dibaca banyak orang. Namun, saya katakan padanya bahwa ilmu itu perlu diverifikasi," tutur dia.
Gufron mengatakan, meski tak dibaca banyak orang layaknya koran, karya ilmiah atau jurnal bisa dibaca oleh kolega di bidang yang sama. "Kalau menulis koran kan yang baca masyarakat awam," tuturnya.
Ghufron mengatakan, sudah ada perkembangan dalam jumlah publikasi karya ilmiah oleh dosen-dosen di tanah air.
Dia menceritakan, pada 2015, jumlah publikasi karya ilmiah tertinggi diraih oleh Malaysia. Saat itu Indonesia tertinggal jauh dengan Thailand dan Singapura.
Kemudian, kata dia, Kemristekdikti mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan rektor menulis dan mempublikasikan jurnal ilmiah.
"Setelah ada kebijakan ini, pada September 2017 publikasi Indonesia sudah melampaui Thailand. Kemudian di awal 2018, sudah melampaui Singapura dengan jumlah 4.900 dan 5.120 (jumlah jurnal Indonesia). Tinggal bagaimana melewati Malaysia. Sekarang, dosen sudah mulai bangun. Dalam dua tahun lagi semoga menjadi nomor wahid," ucapnya.
(Tin/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini