Imparsial: Definisi Terorisme Sudah Tercantum di Undang-Undang

Dia berharap, RUU ini segera rampung agar pemerintah tidak menerbitkan Perppu yang nantinya akan menimbulkan perdebatan publik layaknya Perppu Ormas.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Mei 2018, 06:35 WIB
Di depan Pansus RUU Terorisme DPR, Kapolri Jenderal Tito Karnavian memaparkan soal perkembangan paham radikal di Indonesia dan cara menangani aksi teror yang tepat pada era reformasi, Senayan, Jakarta, Rabu (31/8). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, Pansus Revisi Undang-Undang (RUU) Terorisme tak perlu membuat definisi terorisme. Sebab, definisi terorisme sudah tercantum jelas di Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 6 menyebut, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.

Atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

"Kenapa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 nggak ada definisi? Karena definisi ada di Pasal 6. Sebenarnya Pasal 6 ada definisi. Jadi Pansus nggak perlu ribet, tinggal tarik Pasal 6 jadi definisi," kata Al Araf dalam diskusi pembahasan RUU Terorisme di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Senin (14/5/2018).

"Ribut soal definisi pakai Pasal 6. Jadi singkat saja, jangan memperkeruh Undang-Undang Terorisme, jangan berlarut-larut," imbuh dia.

Al Araf berharap, RUU ini segera rampung agar pemerintah tidak menerbitkan Perppu yang nantinya hanya akan menimbulkan perdebatan publik layaknya Perppu Ormas.

"Saya minta pemerintah juga nggak usah nerapin Perppu, tidak perlu. Saat ini RUU Terorisme sudah sangat panjang," tuturnya.

Senada dengan Al Araf, anggota Pansus RUU Terorisme, Risa Mariska mengatakan, dirinya juga menolak adanya definisi baru dalam RUU Terorisme. Sebab definisi terorisme dalam RUU yang dibahas sudah tertera dalam undang-undang. Pernyataan Menko Polhukam Wiranto sebelumnya juga tak ada perdebatan soal definisi.

"Soal definisi ada di Pasal 6 dan 7 ya betul, saya juga menolak adanya definisi di RUU yang baru dan untuk apa, karena ada Pasal 6 dan 7," ucap Risa di lokasi yang sama.

Dia menambahkan, jika definisi terorisme dibahas terlalu rinci juga dapat mempersempit ruang aparat negara untuk menindak. Maka dari itu, Fraksi PDIP tegas menolak.

"Perdebatan terakhir rapat-rapat pansus ini terakhir mengenai definisi terorisme. Kalau definisi terorisme kemudian dijabarkan secara rinci tentu ini membatasi ruang aparat negara dalam hal ini aparat kepolisian. Makanya fraksi kami menolak definisi terorisme masuk ke RUU Terorisme," tandas Risa.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Salah Alamat

Petugas kepolisian mengamankan seorang pria mencurigakan di sekitar Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5). Sebelumnya, bom bunuh diri terjadi sekitar pukul 08.50 WIB di depan markas penjagaan Mapolrestabes Surabaya. (AFP/JUNI KRISWANTO)

Sementara itu, Ketua Pansus UU Terorisme Muhammad Syafi'i mengatakan, desakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait mangkraknya revisi UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme salah alamat. Menurutnya saat ini bola penyelesaian RUU tersebut berada di pemerintah.

"Permasalahan ada di pemerintah, di DPR sudah clear. Tinggal pemerintah saja. Jadi Saudara Presiden Jokowi salah alamat, tolong selesaikan di internal pemerintah. Pemerintah ini yang tidak tertib," kata Syafi'i saat dihubungi, Senin (14/5/2018).

Syafi'i menjelaskan, sebenarnya UU tersebut sudah rampung 99 persen. Sedangkan satu persen yang belum selesai adalah pembahasan definisi yang sering ditunda oleh pemerintah.

"Pertama (pemerintah) tidak mau ada definisi, tapi kemudian tidak punya logika hukum. Mereka mau membuat definisi mundur tunda satu bulan. Kita bantu dengan unsur-unsur tadi, supaya dia menyusun redaksi, ternyata redaksi yang diajukannya menyimpang dari unsur-unsur itu, minta mundur lagi. Jadi ini yang menyebabkan tidak selesai adalah pemerintah," ujarnya.

Reporter: Muhammad Genantan Saputra dan Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya