Liputan6.com, Jakarta - Industri keuangan syariah di Indonesia dinilai masih bergerak lambat. Kondisi tersebut bisa terlihat dari pangsa pasar perbankan syariah yang masih sangat kecil jika dibandingkan dengan total pangsa pasar perbankan nasional.
"Perkembangan keuangan syariah di Indonesia lambat. Market share perbankan syariah hanya 5,78 persen dari total perbankan nasional. Industri keuangan nonbank lebih parah lagi market share-nya sekitar 4 persen," ungkap Direktur Utama PT Pegadaian (Persero), Sunarso, di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (15/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Sementara total dana masyarakat yang berhasil dikumpulkan perbankan syariah baru sekitar Rp 341 triliun dibandingkan total dana masyarakat di industri perbankan nasional sebesar Rp 5.289 triliun.
"Total kredit yang disalurkan perbankan nasional Rp 4.782 triliun. Penyaluran kredit perbankan syariah Rp 291,18 triliun," tutur Sunarso.
Salah satu alasan lambannya pertumbuhan industri keuangan syariah karena masih belum padu dan terintegrasinya peraturan yang dikeluarkan.
"Ada apa dengan keuangan syariah di Indonesia. Tidak berkembangnya keuangan syariah di Indonesia menurut saya karena terlalu banyak yang mau atur syariah. Terlalu banyak stakeholder yang mau me-regulate masing-masing. Jadi harus jadikan satu. Keluar dari satu pintu," tutur Sunarso.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
OJK Ungkap Masalah Keuangan Bank Muamalat
Komisi XI DPR RI memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Muamalat untuk mengetahui penyebab masalah keuangan yang terjadi dalam tubuh bank syariah tertua tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, penyebab utama masalah Bank Muamalat adalah dari sisi permodalan. Sebab, dari sisi likuiditas Bank tersebut masih memiliki likuditas sehingga tidak ada masalah.
Heru mengungkapkan, saat ini pemegang saham terbesar Bank Muamalat adalah Islamic Development Bank (IDB) sebesar 32,74 persen, Nasional Bank of Kuwait dan dan Bank Boubyan sebesar 30 persen, SEDCO Holding sebesar 17,91 persen, dan sisanya sekitar 19 persen adalah pemilik perorangan.
Kemudian, lanjut Heru, permasalahan modal terjadi sebab para pemilik saham tersebut saham tidak dapat meningkatkan porsi permodalan kepada Bank Muamalat.
Padahal mengembangkan bisnis maupun ekspansi bisnis Bank Muamalat memerlukan modal yang lebih besar. Di sisi lain pemilik saham mayoritas tidak bisa lagi melakukan penyertaan modal.
"IDB sebagai pemiliki 32,74 persen saham mengalami keterbatasan aturan. Dalam aturan internal mereka penyertaan modal maksimum 20 persen sehingga IDB tidak bisa menambah modal," kata Heru, di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (11/4/2018).
Heru mengungkapkan, Nasional Bank of Kuwait dan dan Bank Boubyan selaku pemegang saham terbesar juga sedang terlilit masalah. Kedua pemegang saham Bank Muamalat itu sedang konsolidasi. Sementara SEDCO sudah menyatakan tidak ingin menambah suntikan modal pada tubuh bank syariah tersebut.
Oleh karena itu, Heru mengatakan Bank Muamalat memilih langkah untuk mencari suntikan dana dari investor baru. Salah satu investor yang telah mengajukan diri kepada OJK adalah PT Minna Padi Investama Tbk (PADI).
Heru mengungkapkan, OJK telah mengajukan beberapa syarat kepada PADI untuk menyelesaikan proses tersebut. Namun, hingga kini pihak PADI belum menyelesaikan persyaratan tersebut.
"Akan tetapi, sampai dengan batas waktu yang dipersyaratkan, keterbukaan informasi konsorsium siapa saja, sampai dengan batas waktu belum bisa diberikan oleh calon investor, sehingga right issue belum bisa dilaksanakan,” ujar dia.
Selain PADI, banyak investor lain yang menunjukkan minat untuk melakukan penyertaan modal kepada Bank Muamalat. Namun, hingga sejauh ini baru PADI yang sudah mengajukan diri pada OJK.
"Kami harap nanti kalau pembicaraan dengan investor dan pemilik sudah mendekati kesepakatan, maka OJK akan fasilitasi,” ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini
Sumber: Merdeka.com
Advertisement