Liputan6.com, Jakarta - BPS melaporkan Indonesia alami defisit perdagangan USD 1,63 miliar. Pemerintah menilai hal itu lantaran kenaikan impor karena ada pembangunan infrastruktur besar yang sedang dikerjakan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyampaikan hal tersebut saat ditemui wartawan di kantornya, Selasa (15/5/2018).
Pembangunan infrastruktur besar tersebut mendorong beberapa barang kebutuhan bahan baku untuk infrastruktur terpaksa harus diimpor.
"Pertumbuhannya lebih tinggi itu ditambah dengan proyek-proyek infrastruktur. Artinya, kalau proyek infrastruktur dan kemudian proyek investasi swasta lain yang non infrastruktur yang memang pertumbuhannya meningkat, itu pasti butuh barang modal dan barang baku,” ujar Darmin.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi, kalau kamu lihat pertumbuhan barang bahan bakunya sama tingginya dengan barang konsumsi," tambah Darmin.
Darmin mengatakan, tingginya permintaan bahan baku infrastruktur lantaran proyek yang sudah jalan beberapa tahun lalu sedang proses penyelesaian. Jadi bahan baku yang diperlukan pun cukup banyak.
"Jangan lupa, barang modal dan barang baku, dalam impor kita itu 91 persen. Barang konsumsi cuma 9 persen," ujar Darmin.
Meski demikian, Darmin menuturkan, kenaikan impor yang mencapai 11,28 persen tersebut masih terbilang aman. Sebab menurut dia kenaikan tersebut secara pertumbuhan ekonomi masih dapat berjalan positif.
"Itu memang luar biasa kenaikannya. Tinggi sekali, tetapi dari segi perkembangan ekonomi artinya positif. Kenapa positif? Karena investasi berjalan, baik invetasi swasta, maupun investasi dalam bentuk bangunan infra, dan lain sebagiannya," kata dia.
Lebih lanjut, Darmin Nasution mengatakan secara ekspor memang terlihat menurun. Untuk itu dia meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan kembali nilai ekspor Indonesia, sehingga dapat mengimbangi nilai impornya.
"Jadi memang yang sekarang ini berarti. Selain, mempercepat realisasi investasi dan pembangunan infrastruktur itu, yang dampaknya positif ya pemerintah harus mendorong ekspor, mengimbangi kenaikan impor itu, kalau tidak itu akan dampaknya bisa tidak terlalu baik terhadap neraca pembayaran," kata dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Pada April 2018, RI Alami Defisit Perdagangan USD 1,6 Miliar
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia April 2018 mengalami defisit sebesar USD 1,63 miliar. Hal ini dipicu oleh defisit sektor migas USD 1,13 miliar dan nonmigas sebesar USD 0,50 miliar.
Kepala BPS, Suhariyanto menjelaskan defisit ini terjadi di luar ekspetasi. Sebab neraca perdagangan pada Maret 2018 sempat mengalami surplus USD 1,09 miliar. Dia menuturkan defisit ini karena ada peningkatan impor yang sangat tinggi.
"Saya kira ini yang perlu jadikan perhatian defisit dari migas dan juga non migas," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Selasa 15 Mei 2018.
Suhariyanto, mengatakan impor nonmigas April 2018 mencapai USD 13,77 miliar atau naik 12,68 persen dibanding Maret 2018. Sementara jika dibanding April 2017 meningkat 36,69 persen.
"Impor migas April 2018 mencapai USD 2,32 miliar atau naik 40,89 persen dibanding Maret 2018, dan naik 40,89 persen dibanding April 2017," tutur dia.
Sementara, nilai ekspor Indonesia April 2018 mencapai USD 14,47 miliar atau turun 7,19 persen dibanding ekspor Maret 2018 yakni sebesar USD 15,58 miliar. Jika dibandingkan April 2017 juga meningkat 9,01 persen.
Ekspor nonmigas April 2018 mencapai USD 13,28 miliar, turun 6,8 persen dibanding Maret 2018 yakni sebesar USD 14,25 miliar. Demikian juga dibanding ekspor nonmigas April 2017 naik 8,55 persen.
"Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-April 2018 mencapai USD 58,74 miliar atau meningkat 8,77 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai USD 53,30 miliar atau meningkat 9,27 persen," ujar Suhariyanto.
Advertisement