Liputan6.com, Sochi - Mimpi biasanya dimulai dari masa kecil. Demikian pula yang terjadi pada Dwi Rahayu, Mahasiswa S2 yang kini tengah menyelesaikan studi tentang energi nuklir di Moskow Rusia.
"Akhirnya kita bertemu juga Mbak," demikian Dwi menyapa dan menemui saya di Press Centre Atomexpo 2018 pada 15 Mei lalu. Pertemuan Liputan6.com dengan Dwi telah dijadwalkan jauh-jauh hari oleh Rosatom, BUMN Rusia yang mengurusi pembangunan pembangkit nuklir di berbagai belahan dunia.
Advertisement
Dwi pun secara khusus diterbangkan dari Moskow ke Sochi untuk memenuhi penasaran saya, tentang pilihannya mempelajari nuklir di Rusia. Maklum, sejak puluhan tahun, keinginan Indonesia membangun satu pembangkit nuklir besar tak jua terwujud.
Pertanyaan awal saya, apa yang membuat Dwi tertarik mempelajari Nuklir. Sebab bahasa pengantar untuk kuliah di Rusia saja cukup sulit, ini ditambah mempelajari nuklir.
Siapa sangka, perempuan kelahiran 27 Mei 1991 itu mulai bercerita jika kondisi masa kecil yang membuatnya tertarik kuliah di jurusan nuklir.
"Dulu lahir sampai dengan SMP, tidak ada listrik di desa, gelap gulita dan waktu SD pernah baca soal Nagasaki dan Hiroshima dan sisi lain energi nuklir yang sangat besar dan kepikiran apa ini bisa dipakai dikendalikan untuk kesejahteraan umat manusia," Dwi mulai bercerita.
Desa di mana Dwi tinggal bernama Mulya Jaya, Kecamatan Lalayan Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Akibat ketiadaan listrik, selama bertahun-tahun Dwi dan warga desa setempat tak pernah bisa menikmati peralatan elektronik seperti televisi, radio apalagi komputer.
Dwi dan keluarganya merupakan transmigran asal Pulau Jawa. "Aku pertama kali ke kota waktu melihat mobil terpana dan lihat eskalator seperti orang hilang yang berjalan sendiri," kata anak kedua dari 4 bersaudara ini mengenang.
"Jadi dari kecil tidak lihat listrik saya kepikiran itu. Saya benar-benar memperdalam fisika inti yang sudah ada, inti relativitas mau ke nuklir," dia menuturkan.
Bak gayung bersambut, usai lulus SMA 2 Sekayu pada 2009, dia mendapatkan undangan beasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN) Jogjakarta, yang kemudian dijadikan pilihannya.
Setelah kuliah di STTN, perempuan yang memiliki hobi memancing itu sempat bekerja, di mana gajinya diperuntukkan sebagai modal mendaftar pendidikan lanjutan.
Kegigihan memberikan Dwi keberuntungan, dia memperoleh 3 beasiswa sekaligus dalam waktu bersamaan. Yaitu beasiswa dari Polandia, Rusia, dan Universitas Pertahanan di Sentul. ”Saya ambil yang Rusia. Fokus mendalami nuklir,” akhirnya jadi pilihan Dwi.
"Saya melihat Rusia salah satu negara dengan perkembangan teknologi nuklir sangat pesat dan punya teknologi lengkap dari menambang uranium sampai semua cycle nuklir teknologi," kata dia.
Bertemu Presiden Putin
Bukan hal mudah bagi Dwi berkuliah di Rusia. Kendala bahasa turut dirasakan. Namun dia memiliki trik sendiri. Dengan merekam setiap pelajaran dari dosen dan kemudian mengulangnya kembali saat di asrama.
"Jadi strategi yang aku jalankan bagaimana agar memahami apa yang disampaikan profesor, dengan direkam. Jadi aku belajar dua sampai 3 kali lipat di asrama diulang dari yang direkam dari situ bisa paham," ungkapnya.
Kendala kedua yang dirasakan Dwi terkait sistem ujian. Sebab ujian tak hanya melalui tulis, Dwi harus bisa menjelaskan jawaban atau argumennya secara lisan, yang menjadi penentu kelulusan.
Salah satu hal lain yang paling berkesan bagi Dwi saat berkuliah adalah pertemuannya dengan Presiden Rusia Putin pada Oktober 2017. Pada saat itu, dia mendapatkan tawaran Rosatom untuk ikut festival pemuda di Rusia, pada Oktober 2017 dan masuk ke sub bidang industri masa depan.
"Banyak peserta dan di situ dari internasional partisipan dipilih 8 orang dari negara lain dan 12 orang dari Rusia. Ini perwakilan industri masa depan untuk presentasikan industri masa depan yang pemuda inginkan di bidang AI. Di situ aku terpilih dan hadir di acara Presiden Putin, yang menanggapi ide kami. Beliau kasih semangat motivasi dan kontribusi dan jelas tidak menyangka. Aku senang banget," kata Dwi.
Dia akhir cerita, Dwi menilai salah satu yang membuat bisa seperti saat ini karena kedua orang tuanya, M Joni dan Karsiniati turut mendukung keinginannya. "Beliau percaya sama anak-anaknya," dia menandaskan.
Advertisement
Asosiasi Nuklir: Dunia Butuh 1.000 GW Pembangkit Nuklir Baru Hingga 2025
Asosiasi Nuklir Dunia menyatakan jika masyarakat dunia membutuhkan semua sumber energi bersih, termasuk nuklir. Bahkan pembangkit energi nukir tumbuh pada tingkat tercepat dalam 25 tahun.
Ini juga terjadi di negara-negara yang baru saja mengembangkan tenaga nuklir untuk pertama kalinya seperti di UAE, Turki, Belarusia, dan Bangladesh.
Bahkan, dia menyatakan jika dunia perlu membangun 1.000 Gigawatt reaktor nuklir baru untuk memenuhi permintaan energi global pada 2025. Sampai periode ini, sebesar 25 persen pasokan listrik dunia akan dipasok dari pembangkit nuklir.
"Apa yang ingin dilakukan Program Harmony adalah meningkatkan lingkungan bisnis untuk memungkinkan nuklir memainkan peran sepenuhnya dengan memperhatikan secara ekonomi, menciptakan paradigma keselamatan yang efektif dan memastikan proses regulasi yang selaras," jelas Penasihat Program Harmoni Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) Jeremy Gordon pada acara International Forum Atomexpo 2018 di Sochi, Rusia, Selasa (15/5/2018).
Dia mengatakan jika tenaga nuklir tumbuh pada laju tercepat dalam 25 tahun terakhir dan permintaan listrik meningkat. Sebab itu, sektor energi masih berjuang untuk memenuhi permintaan.
Meskipun percepatan pertumbuhan kapasitas energi nuklir, pangsa energi nuklir dari pasar energi global telah menurun dari 14 persen menjadi 10 persen.
Padahal jika pangsa energi nuklir dari pasar listrik meningkat menjadi 25 persen pada 2050, bisa menyeimbangkan kebutuhan yang semakin meluas dengan lingkungan alam, sambil membantu pengenalan teknologi rendah karbon lainnya.
“Peningkatan pangsa dari semua sumber energi rendah karbon, serta sangat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dapat bekerja bersama secara harmonis untuk memastikan pasokan energi masa depan yang dapat diandalkan, terjangkau dan bersih,” ia berpendapat.
Menurut dia, perlu adanya perubahan diperlukan di setiap aspek sektor tenaga nuklir untuk menghilangkan hambatan. Dengan mendorong investasi energi bersih masa depan, di mana energi nuklir diperlakukan sama dengan teknologi rendah karbon lainnya dan diakui karena memiliki nilai yang dapat diandalkan, merupakan kunci dari bauran energi rendah karbon.
Dia menambahkan bahwa penting untuk memastikan proses pembangunan satu pembangkit selaras yang bisa memfasilitasi pertumbuhan kapasitas nuklir yang signifikan, tanpa mengorbankan keselamatan dan keamanan.
“Proses nuklir yang harmonis berarti bahwa, jika Anda membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di satu negara, Anda harus dapat membangun pembangkit listrik yang sama di negara lain dengan dokumen minimum,” jelasnya.
Dia lebih lanjut berkomentar bahwa penting untuk menciptakan paradigma keselamatan yang efektif yang berfokus pada kesejahteraan publik. Ini seperti pada manfaat kesehatan, lingkungan dan keselamatan.
Dia menyebutkan ada hal yang harus diperhatikan dua fundamental mendasar bila ingin membangun pembangkit nuklir.
Pertama, soal keamanan dan kedua masalah penerimaann di masyarakat. "Tanpa keduanya pembangkit energi nuklir tidak akan bisa beroperasi. Sebab itu kita harus fokus pada dua hal ini," jelas dia.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Asosiasi Nuklir Dunia Agneta Rising yang mengatakan jika keberadaan pembangkit nuklir baru bisa membantu membangun bauran energi global yang berkelanjutan, mengurangi emisi dan memenuhi permintaan listrik.
Menurut dia, mengatakan energi nuklir memiliki peran penting untuk bermain dalam bauran energi global, memberikan fondasi yang kuat dari generasi yang dapat diandalkan dan rendah karbon untuk membantu mendukung lebih banyak variabel pembangkit energi bersih.
"Dalam lima tahun dari 2015 hingga 2019 kita melihat 55 reaktor baru dimulai di 12 negara, dua dari negara-negara yang baru memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir pertama mereka. Dengan kapasitas gabungan 55 GWe generasi nuklir baru ini akan menghindari emisi lebih dari 400 juta ton karbon dioksida setiap tahun, dibandingkan dengan batu bara, setara dengan 15 persen ke pasokan ke global," jelas dia.