Liputan6.com, Jakarta - Neraca Perdagangan Indonesia mengalami defisit yang cukup tajam pada April 2018 yaitu sebesar USD 1,63 miliar. Namun hal tersebut dinilai tidak akan memperparah defisit transaksi berjalan.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengatakan, jika melihat neraca perdagangan pada April 2018, baik ekspor maupun impor memang sama-sama naik. Namun kenaikan impor jauh lebih besar ketimbang ekspor.
"Kita lihat memang dari neraca perdagangan kemarin, ekspor naik. Ekspor naik itu juga banyak didukung oleh produk-produk manufaktur. Tapi naiknya hanya 9 persen, sedangkan naiknya impor itu bisa sampai 34 persen. Tapi kita paham naiknya impor juga ada faktor harga minyak yang naik, ada faktor kita musti impor pangan dan itu menyebabkan tekanan," ujar dia di Kantor BI, Jakarta, Jumat (18/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengatakan, tingginya pertumbuhan impor ini sebenarnya juga buka suatu hal yang negatif. Sebab, ini menunjukkan jika ekonomi Indonesia tengah berjalan ke arah perbaikan.
"Kami melihat ini bagian kalau ekonomi Indonesia membaik. Kami juga melihat impor yang tinggi adalah untuk kegiatan produktif, untuk kegiatan-kegiatan infrastruktur itu membutuhkan impor dari mesin ataupun komponen-komponen untuk infrastruktur. Itu membuat tekanan di impor," kata dia.
Sementara jika dilihat dampaknya terhadap neraca transaksi berjalan, memang defisitnya meningkat. Namun peningkatan ini masih lebih rendah ketimbang posisi defisit transaksi berjalan pada kuartal akhir tahun lalu.
"Kami melihat bahwa Indonesia sudah keluarkan hasil dari balance of payment kita, dan kita lihat bahwa transaksi berjalan itu memang defisit dan meningkat menjadi 2,15 persen dari GDP. Tapi dibandingkan kuartal IV 2017 itu turun, karena di kuartal IV itu 2,3 persen dari GDP," ujar dia.
Namun, Agus menyatakan, jika defisit transaksi berjalan ini masih sehat. Sebab masih berada di bawah tiga persen dari GDP.
"Kami melihat bahwa neraca transaksi berjalan masih akan sehat dan kita perkirakan masih akan ada di kisaran 2 persen-2,5 persen dari GDP sepanjang 2018. Dan kami meyakini kalau transaksi berjalan itu di bawah 3 persen dari GDP itu masih sehat. Kami harus kelola," ujar dia.
Defisit Transaksi Berjalan USD 5,5 Miliar
Sebelumnya, Bank Indonesia melaporkan defisit transaksi berjalan kuartal I 2018 menurun sehingga menopang ketahanan sektor eksternal perekonomian Indonesia.
Defisit transaksi berjalan tercatat USD 5,5 miliar (2,1 persen PDB) pada kuartal I 2018, lebih rendah dari defisit pada kuartal sebelumnya yang mencapai USD 6,0 miliar (2,3 persen PDB).
Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Arbonas Hutabarat menjelaskan, penurunan defisit transaksi berjalan terutama dipengaruhi oleh penurunan defisit neraca jasa dan peningkatan surplus neraca pendapatan sekunder.
"Penurunan defisit neraca jasa terutama dipengaruhi kenaikan surplus jasa perjalanan (travel) seiring naiknya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan menurunnya impor jasa pengangkutan (freight). Peningkatan surplus neraca pendapatan sekunder sejalan dengan naiknya penerimaan remitansi dari pekerja migran Indonesia," ujar dia, Sabtu 12 Mei 2018.
Sementara itu, surplus neraca perdagangan nonmigas menurun terutama dipengaruhi penurunan ekspor nonmigas. Impor nonmigas juga menurun meski lebih terbatas, dengan impor barang modal dan bahan baku masih berada pada level yang tinggi sejalan dengan kegiatan produksi dan investasi yang terus meningkat.
Sementara untuk transaksi modal dan finansial kuartal I 2018 tetap mencatat surplus di tengah tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. Surplus transaksi modal dan finansial pada kuartal I 2018 tercatat USD 1,9 miliar, terutama ditopang oleh aliran masuk investasi langsung yang masih cukup tinggi.
Hal ini mencerminkan tetap positifnya persepsi investor terhadap prospek perekonomian Indonesia. Namun demikian, surplus transaksi modal dan finansial kuartal I 2018 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan surplus pada kuartal sebelumnya.
Penurunan surplus tidak terlepas dari dampak peningkatan ketidakpastian di pasar keuangan global yang kemudian mengakibatkan penyesuaian penempatan dana asing di pasar saham dan pasar surat utang pemerintah.
"Penurunan surplus juga dipengaruhi oleh komponen investasi lainnya yang tercatat defisit, terutama dipengaruhi naiknya penempatan simpanan sektor swasta pada bank di luar negeri," tambah Arbonas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement